Ammy Amalia Fatma Surya | Menyuarakan Kebijakan Berpihak Perempuan

Anggota DPR RI Komisi III Fraksi PAN

Sebagai salah satu representasi anggota dewan perempuan, Ammy terbilang vokal dalam mengurusi hak-hak kaumnya. Baru-baru ini, dia berganti tugas menjadi anggota Komisi III. Semasa menjabat di Komisi II yang tugasnya melingkupi pemerintahan dalam negeri, kepemiluan, pertanahan, aparatur sipil negara, pelayanan publik, dan sebagainya, dia meyakini bahwa masih banyak jalan untuk memperjuangkan hak-hak wanita, agar bisa terus berkarya di berbagai bidang.

Salah satunya adalah melalui kebijakan afirmatif yang dipercaya menstimulasi dan membuka akses kepercayaan terhadap kemampuan perempuan di luar sana. Selain itu, secara tidak langsung mendorong para perempuan untuk belajar dan memperluas wawasan dalam rangka mengimbangi kebutuhan kompetensi atas suatu jabatan atau posisi tertentu.

“Diakui atau tidak, masih banyak pihak yang meragukan kompetensi perempuan. Kekhawatiran utamanya adalah ketika suatu kebijakan memaksa suatu institusi menempatkan sejumlah perempuan pada posisi-posisi strategis tertentu, apakah kita mampu dari segi kompetensi?” ujar ibu dua anak ini.

Kebijakan afirmasi berhasil disusun melalui Undang-Undang Pemilu No.8/2012 yang telah direvisi melalui Undang-Undang Pemilu No. 7/ 2017 hanya mewajibkan partai politik menempatkan 30% perempuan pada daftar calon tetap anggota legislatif, baik tingkat pusat, propinsi, dan daerah. Klausul ini tidak berubah di undang-undang baru. Namun demikian, pertama kali kebijakan afirmasi ini diterapkan pada pemilu tahun 2014, jumlah keterpilihan caleg perempuan di DPR RI justru mengalami penurunan. Hal ini disebabkan tidak adanya kebijakan-kebijakan yang menyertainya dalam rangka mendukung perempuan pada kompetisi elektoral. Laki-laki dan perempuan dibiarkan untuk berkompetisi secara bebas, padahal jelas-jelas jumlah peserta perempuan jauh lebih sedikit.

Menurutnya, untuk mencapai kesetaraan dalam bidang politik, perempuan membutuhkan kebijakan yang lebih dari sekadar diberi hak sama dengan laki-laki dalam memilih dan dipilih. Tetapi harus ada kebijakan afirmasi yang memiliki daya dorong kuat guna mendukung peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Bagaimanapun juga, secara umum posisi perempuan tidak berangkat dari kesetaraan dengan laki-laki terutama dari segi finansial guna mendukung kemenangan dalam kompetisi elektoral.
Ammy pun ikut ambil bagian dalam upaya perlindungan kaum perempuan menjadi inisiator RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dia beranggapan hal ini menjadi penting, sebab sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Selain itu, langkah ini juga menjadi salah satu aksi nyata menjalankan tugas pokok sebagai anggota legislatif dalam fungsi legislasi.

Perempuan kelahiran tahun 1982 ini juga tengah disibukkan oleh persiapan pembahasan RUU Pertanahan. Dia bertekad agar RUU ini selesai sebelum masa jabatannya berakhir. Rampungnya RUU tersebut diharapkan dapat mengatur ulang aturan-aturan berkaitan dengan pertanahan yang selama ini banyak mengalami tumpang tindih.

Selain itu, yang menjadi tujuan utama adalah tetap melindungi kedaulatan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari upaya-upaya yang cenderung mengarah kepada penguasaan tanah tidak terbatas oleh pihak asing, baik perorangan maupun korporasi. Dalam mengenang perjuangan Kartini, Ammy merasa bahwa kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan tidak hadir begitu saja, tetapi perlu diperjuangkan. Baginya, perempuan tidak bisa selalu menyandarkan nasib atau pasrah kepada kaum laki-laki dan berharap secara otomatis mereka akan memberikan hak-hak istimewa, tanpa melupakan kodrat-kodrat dasar sebagai perempuan tentunya.

Dewasa ini keinginan agar perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam memperoleh pendidikan adalah hal yang tidak terlalu rumit. Namun, bila menengok keadaan pada saat Kartini berjuang, tentu saja tidak dapat dikatakan sederhana. Keadaan di mana perempuan masih terbelit norma-norma yang begitu konservatif tentang peran dan posisi perempuan baik sebagai individu dan makhluk sosial. Belum lagi stigmatisasi masyarakat yang saat itu mungkin belum bisa menerima perbedaan, tidak hanya dari kaum laki-laki tetapi juga dari perempuan itu sendiri.

“Saya meyakini, Indonesia sebagai negara yang hebat bisa menunjukkan kepada dunia tentang potensi-potensi perempuan yang dimilikinya, tanpa meninggalkan jati diri keindonesiaannya. Semoga negeri ini bisa lebih meningkatkan pengaruhnya dalam penyusunan resolusi maupun kebijakan politik internasional, khususnya di bidang keadilan dan kesetaraan gender,” tutur politisi kelahiran Bogor ini.

Naskah: Indah Kurniasih Foto: Dok.Pribadi