Rangkul Masyarakat Sekitar

Carolina Danella Laksono, Owner Cottonology

Memulai bisnis di usia muda, Carolina Danella Laksono berhasil menemukan pasarnya sendiri. Membangun bisnis bernama Cottonology, merek ini memproduksi item fashion untuk pria. Alasannya memilih pria sebagai segmen adalah perkembangan fashion yang tidak terlalu cepat. Desainnya pun terbilang sederhana dibanding produk busana perempuan.

 

Memiliki segmentasi berbeda, salah satu keberhasilan yang diraih adalah menjadi top seller di beberapa e-commerce Indonesia pada tahun 2019 silam. Memiliki misi mulia, salah satu tujuan perempuan yang menamatkan pendidikan di University of California, Berkeley, ini adalah ingin membuat produk lokal dengan kualitas yang tidak main-main.

 

Apa yang menginspirasi lahirnya Cottonology?

Awalnya terinspirasi dari orangtua, karena ayah saya memiliki pabrik kain. Saya besar di lingkungan tersebut, lalu Cottonology berdiri pada tahun 2017. Saat itu saya hanya memiliki modal sebesar Rp6 juta dan tekad yang kuat. Untuk namanya sendiri ada kisah menarik, dahulu saya suka makan popcorn dengan merek dagang Popcornology. Sayangnya, saat ini sudah tidak ada.

 

Lalu ketika ingin membuka usaha, saya terpikir nama yang tidak jauh dari brand tersebut dan tercetuslah nama Cottonology. Bisnis ini dimulai dengan kurang dari 100 orang karyawan. Saya memilih penjahit yang berada di Bandung untuk bergabung, ada yang penjahit rumahan, individu, hingga penjahit lepas. Selain memudahkan komunikasi, karena jarak dekat, saya juga ingin bisnis ini bisa membuka jalan rezeki untuk mereka. Siapa tahu, kesejahteraan para penjahit lokal pun bisa meningkat dengan ikut bergabung.

 

Sejak berdiri, produk apa saja yang sudah diproduksi?

Cottonology memproduksi berbagai produk pakaian untuk laki-laki. Mulai dari berbagai jenis celana, piama, kemeja, hoodie, parka, bomber jacket, dan lain sebagainya. Dalam beberapa waktu terakhir kami juga membuat dompet dan tas dengan desain yang sederhana, tapi tetap menarik. Untuk produk fashion bagi perempuan, Cottonology baru menjajal beberapa produk, seperti dress, blazer, dan jumpsuit.

 

Baca Juga:

Jadi Tuan Rumah Di Indonesia

Tekun Berbisnis Penyewaan Mainan Anak

 

Tantangan yang dihadapi dalam membesarkan bisnis?

Bekerja sama dengan penjahit yang jumlahnya tidak sedikit tentu memiliki tantangan tersendiri untuk on the track. Dari sisi pembuatan produk, produksi dengan kecepatan super tinggi juga menjadi salah satu tantangan yang kami alami. Terlebih saat nama brand sudah diketahui banyak orang, pemesanan pun meningkat.

 

Benang yang kami gunakan tidak bisa dibeli sembarang. Bahkan untuk bahan pewarna diimpor dari Jepang, yakni Sumitomo. Produk Cottonology juga tidak pasaran. Kami menenun dan membuat langsung kain yang akan digunakan, tidak dengan teknik print. Kemeja kulit jeruk, bermain tenun, ikatan tenunan, dan permainan gramasi benang menjadi ciri pembeda dengan kebanyakan produk serupa.

 

The next big thing yang akan dilakukan untuk Cottonology?

Saat ini Cottonology sudah memiliki 60 pop-up store di 30 kota. Semoga ke depannya bisa merambah pasar luar negeri. Paling tidak di tingkat Asia. Saya akan sangat senang jika hal tersebut bisa terwujud, karena salah satu keinginan adalah membawa produk lokal ke kancah internasional. Saya juga bertekad membuka lapangan pekerjaan lebih banyak untuk orang lain. Tidak sekadar mengejar keuntungan. Selain itu, membuat produk yang ramah lingkungan pun menjadi perhatian yang cukup besar.