Jumlah perempuan yang menekuni bidang litigasi di dunia lawyering bisa dibilang cukup banyak, meskipun tidak sebesar kaum Adam. Adalah Prawidha Murti, salah seorang perempuan yang telah terjun serius di dunia tersebut hampir 20 tahun lamanya. Berawal dari kesukaannya menonton serial LA Law di televisi saat kecil, dia pun berkeinginan bekerja di ruang sidang dan merasakan adrenalin berpacu, ketika menangani suatu perkara. Serius dengan impiannya, dia kemudian memutuskan untuk kuliah di bidang hukum.
Keputusannya sempat ditentang oleh kedua orang tuanya, karena pada tahun 90-an profesi pengacara tidaklah terlalu populer. Merekapun mulai tergerak merestui saat dia diterima di Universitas Indonesia dan lulus menyandang gelar Sarjana Hukum beberapa tahun kemudian. Perempuan yang akrab disapa Wida ini mengakui bahwa dirinya cukup beruntung mendapat banyak tawaran, sebelum akhirnya diterima bekerja di Lubis, Santosa & Maulana (LSM) Law Firm pada 2003. Dia banyak belajar dari Todung Mulya Lubis dan Lelyana Santosa yang membimbingnya pertama kali menjadi litigator. “Saya berguru langsung dengan Bang Todung yang saat itu sangat terkenal, karena menjadi bagian dari tim lawyer Majalah Time yang menghadapi permasalahan di Indonesia," tuturnya mengenai mentor yang membekalinya dengan banyak ilmu tersebut.
Di firma hukum itu pula, Wida dipercaya untuk menangani berbagai kasus besar di berbagai bidang. Untuk masalah perselisihan keluarga atau family dispute dia pernah diikutsertakan dalam penyelesaian kasus perceraian Bambang Trihatmodjo, putra mantan Presiden Soeharto, dengan Halimah. Salah satu milestone terpenting dalam kariernya menurut Wida didapatkannya ketika bekerja di kantor firma hukum milik Todung. Dia diamanahi untuk menangani sengketa antara perusahaan Malaysia dengan perusahaan ternama di Indonesia. Di situlah dia merasa naik kelas, karena itu termasuk high profile case. Untuk pertama kalinya dia terlibat dalam arbitrase internasional dan bekerja sama dengan pengacara asing. Dia juga berkesempatan berdiskusi dengan Queen’s Counsel, yaitu para pengacara terkemuka yang diakui Ratu Inggris.
Sejak itu pula dia memiliki ketertarikan dengan cross-border dispute alias perselisihan lintas batas, karena harus menemukan solusi dari aturan hukum negara yang berbeda. Mampu menjaga kepercayaan yang diembannya, ketika memutuskan untuk keluar dari LSM banyak klien yang puas tetap mempergunakan jasanya. Begitu pula saat mendirikan kantor hukum sendiri yang berkembang selama lima tahun. Kecakapannya bekerja dengan banyak lawyer dalam perkara besar membuatnya ditawari posisi sebagai Dispute Resolution Partner di Makes & Partners yang memiliki Strategic Alliance Partnership dengan Wong Partnership di Singapura.
Tanpa ragu dia menerimanya, karena bekerja di perusahaan internasional merupakan salah satu impian yang sejak lama ingin diwujudkannya. Walaupun hanya 1,5 tahun dia mendapatkan banyak pengalaman berharga dan sangat berterima kasih atas kesempatan serta bimbingan yang diberikan Yozua Makes. Sedikit demi sedikit, kemampuannya di bidang sengketa membuat ibu dua anak ini dikenal sebagai ahli strategi sengketa andal, hingga direkrut Oentoeng Suria & Partners yang memiliki asosiasi dengan Ashurst, law firm asing besar asal Inggris yang memiliki kantor di 17 negara.
Ditanya mengenai sosok yang menjadi panutannya, dia mengatakan bahwa dirinya sangat mengagumi semua lawyer perempuan yang berhasil dalam karier. Sebagai perempuan dia telah membuktikan betapa kerasnya perjuangan untuk bisa sampai di posisinya sekarang ini. Sosok lain yang menjadi inspirasinya tak lain adalah Todung sendiri. Dia tidak hanya mengajarkan masalah hukum, tetapi juga bagaimana bersikap sebagai seorang pengacara, memiliki integritas yang tinggi dan cara mempertahankan pendapat.
“Selain nilai-nilai tersebut, saya diajarkan pula bahwa hal yang paling terpenting adalah bagaimana kita bisa merdeka. Baik dalam berpikir maupun mengekspresikan pendapat. Jika kita sulit untuk mengemukakan pendapat, itu tandanya sudah tidak merdeka. Amanat itu selalu saya ingat dan yakini sampai sekarang,” ungkapnya. Dia berpesan kepada perempuan yang ingin berkarier sebagai litigator haruslah kuat mental. Jalani prosesnya dari nol dengan sabar. Kita harus berani pula menjadi satu-satunya perempuan di ruang sidang yang bisa membuat para pria mau mendengarkan, karena kaum Hawa di zaman sekarang ini tak kalah hebat.
Sebagai lawyer dan strategist pun harus mampu berpikir secara taktis dalam memberi solusi hukum kepada klien. Dia juga menekankan kepada anak buahnya untuk berpikir outside the box, sehingga dapat memberikan solusi strategis. Kemampuan tersebut dapat diperoleh berdasarkan pengalaman dan jam terbang yang tinggi. Nur A | Foto: Sutanto