Perspektif Baru Melihat Sejarah Indonesia

 

Mengulang kesuksesan Sandiwara Sastra yang gemilang, Kemendikbudristek, Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media kembali menghadirkan kolaborasi terbaru, Di Tepi Sejarah. Seri monolog ini menceritakan tentang tokoh-tokoh yang ada di tepian sejarah, mereka yang mungkin tak pernah disebut namanya dan tak begitu disadari kehadirannya dalam narasi besar sejarah dari bangsa Indonesia.

 

Kendati demikian, justru mereka sering kali adalah orang-orang yang berada di pusaran sejarah utama dan menjadi saksi peristiwa-peristiwa penting di Indonesia. Apa yang mereka pikirkan, rasakan dan alami diharapkan dapat menjadi jalan bagi kita untuk lebih memaknai arti kemerdekaan bangsa Indonesia yang pada tahun ini memasuki usia ke-76.

 

Seri Monolog Di Tepi Sejarah diprakarsai oleh Happy Salma dan Yulia Evina Bhara selaku produser dari Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media. Pentas ini juga merupakan kerja bersama dengan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Happy Salma menuturkan, ide awal seri monolog Di Tepi Sejarah tercetuskan, ketika sedang menggarap monolog Aku Istri Munir yang berkisah tentang Suciwati Munir dan naskahnya ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma.

 

Monolog Aku Istri Munir kala itu dia mainkan di ruang yang kecil, sebuah kamar dalam sebuah rumah. Memang niat awalnya pentas ini merupakan persembahan kecil saja bagi perjuangan Suciwati Munir. Namun, banyak sekali yang setelah menonton pentas itu menemukan jalan lain untuk merawat ingatan. Dari situ, dia jadi terinspirasi bahwa dengan situasi sekarang, banyak juga cara untuk tetap bergerak, berbuat, dan diharapkan bisa bermanfaat lewat panggung teater yang tidak kehilangan ruh akan panggungnya. 

 

Chelsea Islan membawakan Nusa yang Hilang

 

“Dimainkan hanya oleh satu orang pemain agar terasa intim dan personal membawakan makna tentang kemanusiaan. Aktor-aktor yang terlibat juga adalah sosok andal bertalenta dan sungguh-sungguh disiplin. Dalam hal ini, saya berharap Di Tepi Sejarah dapat menjadi kaca mata lain bagi bangsa Indonesia melihat sejarahnya,” ungkap Happy.

 

Yulia Evina Bhara, produser dari KawanKawan Media, menambahkan, Di Tepi Sejarah merupakan upaya untuk menyediakan media alternatif dalam pembelajaran sejarah di Indonesia. “Seni pertunjukan dapat menyampaikan isu terkini maupun masa lampau dengan sudut pandang yang lain. Karena sifatnya yang lentur, dapat dikemas dalam bentuk lintas media. Komponen seni pertunjukan, seperti visual dan bunyi diharapkan menjadi stimulus bagi penontonnya untuk mencari tahu lebih banyak tentang kisah-kisah yang diangkat,” terangnya.

 

Di Tepi Sejarah mengangkat empat judul monolog; Nusa yang Hilang, Radio Ibu, Sepinya Sepi, dan Amir, Akhir Sebuah Syair. Semuanya mewakili keanekaragaman wilayah dan melibatkan orang-orang di seluruh pelosok Indonesia. Pertunjukan ini juga merupakan upaya memberikan sudut pandang baru untuk melihat sejarah Indonesia. Rangkaian monolog ini bekerja sama dengan aktor, sutradara teater, sutradara visual, dan penulis naskah yang berbeda untuk setiap judul, dan tentu mumpuni di bidangnya.

 

Nusa yang Hilang berkisah tentang seorang yang bernama asli Muriel Stuart Walker (Chelsea Islan), wanita kelahiran Skotlandia yang tumbuh besar di Amerika. Dia kemudian pergi ke Bali dan berganti nama menjadi Ketut Tantri, karena sebuah harapan dari film yang ditontonnya tentang keindahan Bali, tetapi kenyataan berkata lain. Ketut Tantri terlibat jaringan gerakan bawah tanah, ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Setelah Jepang menyerah, Ketut Tantri bergabung dengan para pejuang di Surabaya. Dia menjadi penyiar radio gerilya Barisan Pemberontak dengan siaran-siaran proganda berbahasa Inggris. Lewat corong radio, dia mewartakan semua kekejaman tentara Inggris kepada rakyat Surabaya. Monolog ini ditulis oleh Ahda Imran dan Kamila Andini yang merangkap juga sebagai sutradara teater dan visual.

 

Arswendi Bening Swara menampilkan Radio Ibu

 

Radio Ibu bercerita tentang Riwu Ga (Arswendy Bening Swara), seorang lelaki tua yang lahir di Sabu, Nusa Tenggara Timur. Riwu bertemu keluarga Bung Karno semasa pembuangan Presiden pertama RI di Ende. Riwu adalah mantan pelayan, pengawal, dan sahabat Bung Karno yang menjadi petani jagung di masa tuanya. Walaupun tinggal di pondok kebun, dia terus mendengarkan radio peninggalan Bu Inggit. Dia ingin memastikan masa depan cerah Indonesia sesudah merdeka, seperti mimpi-mimpi Bung Karno. Naskah ditulis oleh Felix Nesi, sedangkan sutradara teater oleh Yustiansyah Lesmana dan sutradara visual digarap oleh Yosep Anggi Noen.

 

Sepinya Sepi mengangkat kisah seorang perempuan tua Tionghoa, The Sin Nio (Laura Basuki) yang berkeinginan ikut terjun ke kancah revolusi. Dia mewujudkan keinginannya dengan masuk tentara sebagai prajurit dan harus rela mengubah penampilannya menjadi lelaki, serta memakai nama Moechamad Moechsin. Namun, The Sin Nio tahu siapa dirinya, yaitu orang biasa dan bekas prajurit yang keras kepala menjaga masa lalunya, meskipun harus ditelan kesepian yang tak memberinya tempat. Bahkan, dalam kematian sekalipun, makamnya tak pernah mendapat tempat. Naskah ini ditulis oleh Ahda Imran dan disutradarai Heliana Sinaga serta Yosep Anggi Noen sebagai sutradara visual.

 

Sepinya Sepi yang mengangkat kisah The Sin Nio

 

Amir, Akhir Sebuah Syair berkisah tentang Amir Hamzah (Chicco Jerikho), seorang sastrawan yang hidup di masa terjadinya revolusi sosial di Indonesia. Dia juga adalah keturunan dari Kesultanan Langkat. Bersama Armin Pane dan Sutan Takdir, Amir bergerak, berjuang demi Indonesia yang berdaulat dengan pena dan kata-kata, sajak, roman, risalah, dan kisah-kisah. Demi hal tersebut Amir telah mengorbankan diri dan hidupnya. Sebagai kewajibannya kepada keluarga, dia meninggalkan perjuangannya untuk Indonesia. Amir tak bisa lagi menulis syair, tapi sajak-sajaknya yang seluruhnya bernada liris itu, masih menyisakan gema. 

 

Di akhir hidupnya, dia dipancung oleh seorang algojo bernama Ijang Widjadja, yang merupakan guru silat Amir pada masa kanak-kanak. Ijang dipenjara akibat keterlibatannya sebagai algojo. Namun, dia dibebaskan setelah menjalani beberapa tahun hukuman dan menjadi gila lantaran tak mampu menanggung rasa bersalah yang terus menghantuinya. Gia Putri | Istimewa