Ketika ditanya tentang harapannya terhadap batik, dia mengatakan semoga batik tetap menjadi sesuatu yang sifatnya spesial dan sakral Menjadi singkatan dari Kelompok Notaris Pembaca, Pendengar dan Pemikir, Kelompencapir dinahkodai oleh seorang notaris yang berdomisilli di Jakarta yakni, Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, S.H., M.H., Mkn..
Kelompok diskusi ini mulanya berasal dari keinginan untuk menjangkau lebih banyak orang yang memiliki ketertarikan pada dunia pendidikan, khususnya di bidang hukum dan kenotariatan. Berdiri pada Desember tahun 2019 silam, kini Kelompencapir telah memiliki anggota hampir di seluruh Indonesia. Pada setiap pertemuan, peserta yang berkumpul bisa mencapai 500 peserta.
“Kelompencapir memiliki tujuan untuk berbagi ilmu seputar hukum atau kenotariatan kepada orang lain. Oleh karena itu, kami berencana untuk mengadakan pertemuan offline setiap bulan untuk berdiskusi mengenai beberapa topik terkait. Kami mengadakan pertemuan pertama di rumah saya. Pertemuan tersebut berjalan sukses dengan jumlah peserta sekitar 20 orang. Sesuai dengan rencana awal, pertemuan pertama hingga ketiga pun dilaksanakan secara offline,” papar perempuan yang akrab disapa Dete ini.
Sampai saat ini, Kelompencapir masih menjaga komitmennya dalam menyelenggarakan diskusi yang dilangsungkan setiap bulan. Mengusung tema seputar hukum dan kenotariatan, umumnya diskusi diadakan secara hybrid (online dan offline). Berbagai tema telah diangkat, seperti topik yang mengasah soft skill dan menambah wawasan kebangsaan seorang notaris dalam menjaga asset negara, pembiayaan syariah, peluang perfilman dalam mendapatkan pembiayaan dari perbankan, mafia pertanahan, dan lain-lain. Dengan adanya digitalisasi, Dete mengaku hal tersebut memudahkan para pengurus untuk mensosialisasikan diskusinya dengan audience. Sebab, organisasi ini tidak hanya membuka diri terhadap notaris, akademisi, praktisi, tapi juga kepada masyarakat umum yang memiliki ketertarikan sama.
Tidak hanya aktif mengadakan kegiatan diskusi, Kelompencapir juga turut memperingati Hari Batik Nasional yang dirayakan setiap tanggal 2 Oktober. Salah satunya adalah dengan memberikan perhatian pada para pengrajin batik yang ada di Indonesia. Dia mengatakan bahwa para pengusaha batik di daerah-daerah semestinya mulai membuat merek kolektif. Hal ini dilakukan agar setiap karya yang dimiliki dapat menjadi ciri khas di wilayahnya masing-masing.
Sebagai founder, Dete menjelaskan, “Karena Kelompencapir adalah kelompok diskusi yang anggotanya adalah para notaris, jadi bahasan diskusi kami tentunya tidak lepas dari sudut pandang ilmu hukum. Pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO menetapkan batik sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) atau Warisan Budaya Takbenda. Batik layak diakui dunia karena, dibuat dengan teknik, memiliki simbolisme, dan budaya yang sangat melekat dengan kebudayaan Indonesia. Sejatinya batik memang secara intelektual properti harus dimiliki oleh bangsa Indonesia. Untuk para pengrajin tentunya mempunyai merek sendiri-sendiri. Kita dorong supaya para pengrajin itu mempunyai brand dan itu harus terdaftar.”
“Begitu juga dengan pengrajin-pengrajin batik yang sudah tersebar di wilayah-wilayah Indonesia. Jika belum memiliki merek, bisa berkumpul dalam suatu brand bersama. Itu yang harus kita dorong, agar produk ini tidak jalan sendiri-sendiri, tetapi jalan bersama untuk mencari peluang pasar yang lebih bagus, dan akhirnya juga meningkatkan produksi lebih baik lagi,” tutupnya.
Ketika ditanya tentang harapannya terhadap batik, dia mengatakan semoga batik tetap menjadi sesuatu yang sifatnya spesial dan sakral, tetapi tidak menghilangkan manfaatnya. Perempuan penggiat UMKM ini juga menuturkan dia ingin suatu saat nanti batik bisa dipakai lebih banyak orang, terutama generasi muda. Batik tidak hanya digunakan di momen resmi tapi kegiatan sehari-hari bahkan ketika berlibur.
(Indah | Foto: Fikar Azmy)