Anggota DPR RI Komisi IX Fraksi Partai Nasdem
Politisi asal Palembang kelahiran Lampung ini dikenal gigih dalam memperjuangkan kehidupan buruh di Indonesia. Hal tersebut salah satu yang memacunya untuk terjun ke panggung politik. Menurut perempuan kelahiran 6 Oktober 1966 ini keterlibatannya di dalam sistem merupakan sebuah keharusan.
Dengan demikian, dia dapat mempengaruhi perumusan dan penetapan kebijakan. Jalan ini juga ditempuh berkaca dari pengalamannya sebagai aktivis buruh sejak tahun 90-an, jauh sebelum menjadi anggota dewan dan bergabung di Partai NasDem.
Menempati komisi IX yang menangani kesehatan, ketenaga kerjaan, BKKBN, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan BPPOM dari semua mitra yang ada di Komisi IX telah banyak mengambil program yang turut meningkatkan kapasitas perempuan di daerah pemilihan (dapil). Bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan untuk Gerakan Masyarakat Hidup Sehat juga menjadi salah satu langkah yang mengundang peran aktif kaum perempuan. Meskipun turut mengundang laki-laki, tetapi porsi kehadiran perempuan lebih diutamakan.
Ibu dua anak ini juga menguntai banyak harapan untuk keterlibatan kaum Hawa di berbagai sektor, termasuk parlemen. Sampai saat ini, perempuan yang mengisi kursi parlemen belum mencapai 30% kuota yang telah ditetapkan. Bukan kuota calon legislatif (caleg), tetapi anggota legislatif (aleg). Selain regulasinya yang kurang mendukung, partai politik (parpol) masih belum sepenuh hati memberikan ruang pada perempuan. Hal tersebut masih terlihat dari kecenderungan parpol lebih memilih istri penguasa wilayah ataupun para public figure, meskipun sebenarnya kapasitasnya sangat terbatas. Berbicara tentang Kartini, dia pun mengutarakan pandangannya. “Hari kartini merupakan salah satu momen bersejarah bagi kaum Hawa. Pada tanggal tersebut, kita diingatkan kembali bahwa perjuangan perempuan Indonesia sampai saat ini masih belum mencapai target yang diinginkan. Yaitu perempuan Indonesia bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan kaum Adam di sektor publik maupun domestik,” urainya bersemangat. Di tengah budaya patriarki yang sangat kental baik dari sisi agama maupun budaya, Kartini di masa itu dengan segala keterbatasannya berjuang menerobos rambu-rambu tabu, agar perempuan Indonesia mendapatkan posisi yang sama di mata Sang Pencipta. “Keberanian dalam kebersahajaannya, Kartini mampu menginspirasi saya bahwa semua manusia sama di mata hukum, sosial, dan budaya,” wakil ketua fraksi NasDem ini melanjutkan.
Ketika disinggung terkait manajemen waktu antara berkarier, mengabdi, dan keluarga, Irma menjawab lugas dengan formulanya. Langkah pertama yang diambilnya, pembagian waktu yang jelas antara kewajiban kepada keluarga dan wakil rakyat. Kedua, dia terus berupaya meningkatkan kapasitas dan menjaga akuntabilitas. Mengingat persaingan di parlemen maupun internal partai juga sangat keras bagi aleg yang juga bertugas sebagai pengurus partai. Salah satu godaannya bisa datang dari kaum lelaki yang ingin memanfaatkan kelemahan perempuan sebagai pelobi dan kemudian berujung sebagai korban tindak pidana penyuapan.
Selain berjibaku dengan isu perempuan di Senayan dan memperjuangkan hak-hak buruh, Irma juga aktif di organisasi perempuan. “Alhamdulilah saat ini, saya dipercaya untuk mengemban tugas sebagai Sekretaris Jenderal Kaukus Prempuan Parlemen Indonesia (KPPRI). Organisasi ini bertujuan mendorong dan memberikan dukungan kepada para perempuan parlemen, agar memiliki kapasitas, kapabilitas, dan akuntabilitas. Salah satu cara yang ditempuh lewat workshops tentang kemampuan aleg dalam membaca postur anggaran. Sehingga mampu memaksimalkan perannya dalam pendistribusian program dan dana APBN untuk rakyat. Strategi politik agar aleg mampu memenangkan kursi dalam pileg dan komunikasi politik yang baik kepada publik terkait hak dan kewajibannya maupun pada konsituen di daerah pemilihannya,” jelas Ketua kelompok komisi (kapoksi) ini.
Berbicara soal diskriminasi gender dan emansipasi, Irma pun berbagi pandangannya. “Hal pertama yang harus dilakukan tentu meluruskan pandangan bahwa perempuan bukan sekadar konco wingking. Kedua, memberikan pemahaman kepada kaum pria bahwa sekecil-kecilnya perempuan adalah seorang ibu. Tetapi setua-tuanya lelaki, tetaplah anak bagi ibunya. Oleh karena itu, sikap dan perlakuan serta penghormatan kaum lelaki kepada perempuan harus sebagaimana yang tercantum di dalam Al Quran,” Irma menguraikan.
Selanjutnya adalah kuota 30% bukan merupakan prasyarat pencalonan, tetapi syarat anggota legislatif yang duduk di parlemen. Ketiga, regulasi di semua sektor yang mampu diisi oleh perempuan harus berkeadilan gender. Dia pun berpendapat bahwa posisi perempuan indonesia jauh lebih baik dari kondisi perempuan di negara lain terkait keadilan gender, contohnya India, Korea, bahkan negara-negara Arab.
“Ke depannya, tentu saya berharap lebih banyak lagi perempuan parlemen yang memiliki kapasitas, kapabilitas, dan akuntabilitas dibandingkan periode ini. Tujuannya dapat meminimalisasi tren ikut-ikutan menjadi anggota dewan. Bila Allah berkehendak dan masih ada rezeki, serta diberi kepercayaan kembali dari konstituten, saya akan mengemban amanah kembali sebagai wakil rakyat,” ungkap dewan pakar Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI).
Naskah: Indah Kurniasih Foto: Fikar Azmy & Dok. Pribadi