Nila Tanzil Bangun Masa Depan Melalui Literasi Anak

Founder Taman Bacaan Pelangi

Dengan Taman Bacaan Pelangi, dia tidak hanya menghadirkan buku, tetapi juga membangun harapan dan impian bagi anak-anak di pelosok negeri.
 

Akses pendidikan yang merata masih menjadi tantangan bagi banyak daerah terpencil di Indonesia. Namun, Nila Tanzil hadir dengan visi yang jelas. Dia ingin memastikan anak-anak di pelosok Nusantara memiliki kesempatan yang sama untuk mencintai buku dan ilmu pengetahuan. Melalui Taman Bacaan Pelangi yang didirikannya pada 2009, ia mewujudkan impian membangun literasi sejak dini bagi anak-anak di Indonesia Timur.

 

Berawal dari keprihatinannya terhadap keterbatasan akses buku berkualitas, Nila memutuskan untuk bertindak. Dia mulai mendirikan perpustakaan di sekolah-sekolah dasar, membuka kesempatan bagi anak-anak untuk mengenal dunia melalui buku yang sebelumnya sulit dijangkau. Hingga kini, Taman Bacaan Pelangi telah menghadirkan ratusan perpustakaan di berbagai pelosok dan memberikan manfaat bagi ribuan anak.

 

Per Februari 2025, Taman Bacaan Pelangi telah membangun 251 perpustakaan ramah anak di sekolah dasar yang tersebar di 18 pulau di Indonesia Timur, termasuk Sulawesi, Flores, Lombok, Sumbawa, hingga Papua. Kecintaan Nila terhadap buku tumbuh sejak kecil. Dia dibesarkan dalam keluarga yang menjadikan membaca sebagai bagian dari keseharian. Rak-rak penuh buku milik sang ayah terasa seperti perpustakaan pribadi, sementara ibunya selalu menanamkan kebiasaan membaca sejak dini. “Saya tidak pernah lepas dari buku. Membaca setiap hari adalah bagian dari hidup saya,” kenangnya.

 

Ketertarikannya terhadap dunia pendidikan semakin kuat ketika bekerja sebagai konsultan komunikasi di Labuan Bajo. Saat mengunjungi sekolah-sekolah, dia melihat banyak yang tidak memiliki perpustakaan. Kalaupun ada, koleksi bukunya kurang sesuai untuk anak-anak. “Perpustakaannya seperti mati suri, buku-bukunya tidak menarik. Saya berpikir, bagaimana anak-anak bisa mencintai membaca jika akses terhadap buku saja tidak ada?” ujarnya.

 

Merasa anak-anak di daerah tersebut belum merasakan kebahagiaan membaca hanya karena kurangnya akses buku yang layak, Nila pun berinisiatif menyediakan bacaan bagi mereka. Dengan tabungan lima juta rupiah, dia membeli 200 buku dari Gramedia dan mendapat diskon khusus. Buku-buku itu dibawanya ke Flores, sekaligus membuka taman bacaan pertama di Kampung Rowe pada Desember 2009.

 

Gerakan ini berkembang pesat. Dalam empat bulan, dia berhasil membuka empat taman bacaan. Dengan membagikan kisahnya di media sosial, semakin banyak orang yang tertarik dan mulai berdonasi. “Saya masih ingat betapa bahagianya melihat anak-anak membaca dan berbinar-binar mendengarkan cerita. Setiap Sabtu, saya datang untuk storytelling, lalu anak-anak membaca dan berdiskusi bersama,” tuturnya.

 

Kini, anak-anak Kampung Rowe yang dulu membaca di taman bacaan pertama banyak yang sudah melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang kuliah. “Mereka bilang, karena buku-buku di Taman Bacaan Pelangi, mereka berani bermimpi besar dan ingin melanjutkan pendidikan tinggi. Saya merasa ini adalah bukti bahwa buku bisa mengubah hidup seseorang,” ungkap Nila.

 

Taman Bacaan Pelangi terus menumbuhkan budaya literasi melalui berbagai program. Mulai dari pelatihan guru dalam metode pengajaran literasi yang efektif hingga mendampingi anak-anak agar terbiasa membaca sejak dini. Membangun taman bacaan di pelosok tentu tidak mudah. Biaya pengiriman buku yang mahal, perjalanan ke lokasi terpencil yang memerlukan berbagai moda transportasi, hingga mencari tim yang benar-benar peduli terhadap pendidikan adalah beberapa tantangan yang harus dihadapi. “Tapi saya percaya, selama ada niat dan tim dengan visi yang sama, semua bisa dijalankan. Saya selalu memilih tim secara langsung agar tahu mereka benar-benar passionate dalam membantu anak-anak Indonesia,” katanya.

 

Berkat kontribusinya di dunia pendidikan, Nila menerima berbagai penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Kiprahnya menginspirasi banyak pihak untuk ikut meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak di Indonesia. “Untuk perempuan Indonesia, saya ingin menyampaikan satu hal: jangan ragu untuk mengejar mimpi. Kita adalah nahkoda kapal kehidupan kita sendiri. Teruslah berlayar, hadapi ombak dengan keyakinan, dan jangan biarkan siapa pun menghentikan langkah. Kita semua memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi generasi mendatang,” tegasnya.

 

Naskah: Angie Diyya | Foto: Dok. PribadiBaca selengkapnya di e-magazine Women's Obsession edisi 123