Indonesia Jadi Pusat Harapan Planet, Suara Bersama dari Para Penjaga Bumi
Suasana pertemuan Planetary Guardians di Jakarta membawa semangat yang tak hanya membicarakan ancaman krisis iklim, tetapi juga membayangkan masa depan yang masih bisa diselamatkan. Para tokoh dari berbagai penjuru dunia hadir bukan untuk menyuarakan keputusasaan, melainkan memperkuat kolaborasi lintas sektor dengan pijakan yang lebih berani dan terarah.
Jane Davidson membuka sesi dengan pernyataan lugas. Ia menyamakan kondisi planet saat ini seperti pasien kritis yang dirawat oleh banyak orang tanpa keahlian, bergerak sendiri-sendiri, tanpa menyentuh akar persoalan. "Sudah terlalu lama kita menambal luka tanpa membedah sumber penyakitnya," ujarnya. Bagi Jane, perubahan besar tidak akan datang dari satu arah saja. Planetary Guardians ingin mempertemukan sains, kebijakan, dan partisipasi publik dalam satu ekosistem yang saling menguatkan.
Bagi Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), menjaga hutan bukan sekadar pekerjaan atau peran aktivisme. Itu adalah bagian dari identitas, dari cara hidup yang berakar di lanskap Leuser, tempat ia tumbuh dan belajar. Di forum Planetary Guardians, ia menyampaikan betapa pentingnya melihat keterhubungan antara masalah global dan realitas lokal.
“Krisis iklim sering dibahas dari sudut pandang makro, tapi dampaknya terasa di kampung-kampung, di desa-desa kecil yang bergantung pada ekosistem seperti Leuser,” ujarnya. Di situlah ia menemukan benang merah antara pengetahuan global dan pengalaman sehari-hari masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan hutan.
Lebih jauh, Farwiza mengajak untuk melepaskan label yang selama ini membatasi peran menjaga bumi hanya pada kelompok tertentu. Menurutnya, menjadi planetary guardian bukan status, melainkan kesadaran kolektif. “Kita semua seperti sel dalam tubuh. Kalau planet ini sakit, kita semua ikut merasakannya,” ucapnya. Dalam kalimat yang sederhana namun kuat, ia memberi undangan terbuka, siapa pun bisa menjadi penjaga bumi. Sebuah ajakan yang terasa personal sekaligus universal, datang dari seseorang yang percaya bahwa perubahan besar sering lahir dari keberanian menjaga hal-hal yang paling dekat dengan kita.
Di sisi lain, pengalaman pribadi Hindou Oumarou Ibrahim memberi lapisan realitas yang lebih konkret. Ia tumbuh di komunitas adat di kawasan Sahel, Afrika, dan menyaksikan langsung bagaimana perubahan iklim menghancurkan ritme hidup masyarakatnya. Banjir yang datang tiba-tiba membuat dua juta orang kehilangan tempat tinggal dalam semalam. "Bagi kami, ini bukan cuma soal lingkungan. Ini sudah jadi isu keamanan," kata Hindou.
Ia mendorong agar pengetahuan tradisional diberi tempat sejajar dengan sains modern. Komunitasnya menggunakan pola angin, awan, dan bunga untuk memprediksi cuaca dan mengatur pertanian. Pengetahuan seperti ini, menurutnya, bukan mitos. Ini adalah warisan ilmiah ribuan tahun yang terbukti menjaga ekosistem tetap hidup.
Suara dari Afrika kembali terdengar lewat Dr. Mamphela Ramphele. Ia menekankan bahwa krisis yang dialami Indonesia, Kongo, dan Amazon sebenarnya berasal dari akar yang sama. Menurutnya, diplomasi iklim yang adil dan berpusat pada masyarakat adat adalah kunci untuk menyatukan ketiga wilayah tersebut dalam perjuangan global. "Apa yang Indonesia lakukan hari ini akan bergaung sampai ke Kongo dan Amazon. Ini saatnya membentuk kepemimpinan yang menopang sistem bumi secara kolektif," ujarnya tegas.
Sementara itu, Naoko Ishii menyampaikan bahwa Indonesia memegang peran yang tidak bisa diabaikan. Menurutnya, kekayaan alam Indonesia menjadikannya "planetary superpower" yang berpotensi memimpin transformasi global menuju ekonomi regeneratif. "Kalau Indonesia bisa menemukan cara untuk menyeimbangkan hubungan manusia dan alam, dunia bisa belajar dari sini," ujarnya. Naoko juga menggarisbawahi pentingnya membangun sistem ekonomi yang menghitung alam sebagai aset pertumbuhan, bukan hanya objek eksploitasi.
Perspektif yang lebih muda datang dari Ayisha Siddiqa. Ia mengingatkan bahwa satu dari empat warga adat Asia tinggal di Indonesia. Bagi Ayisha, anak-anak muda Indonesia yang sudah bergerak dalam konservasi dan pendidikan perlu lebih sering diangkat ke panggung yang lebih luas. "Mereka tidak diam. Mereka bergerak. Tapi seolah-olah berjuang dalam ruang hampa," katanya.
Gagasan tentang hutan sebagai pusat kehidupan kembali diperkuat oleh Paul Polman. Ia menyebut hutan tropis sebagai paru ketiga dunia, dan menyampaikan kekagumannya atas berbagai inovasi pembiayaan berbasis alam yang sudah dimulai Indonesia. Namun, tantangannya masih besar. "Kita hanya punya sepertiga dari pendanaan yang dibutuhkan untuk mencapai ekonomi net-zero. Sisanya harus kita usahakan bersama," ucapnya.
Xiye Bastida aktivis muda dari Meksiko menutup sesi dengan refleksi yang terasa sangat personal sekaligus visioner. Ia tumbuh di tengah polusi industri dan bencana banjir di Meksiko. Dari pengalaman itu, ia sadar bahwa generasinya akan hidup di masa depan yang sangat ditentukan oleh keputusan hari ini. "Kita semua sekarang punya cerita tentang banjir, kebakaran, atau badai. Ini jadi kisah bersama generasi kita," ucap Xiye. Ia mengajak semua pihak untuk berhenti hanya menyalahkan, dan mulai fokus menciptakan solusi nyata yang bisa diwariskan sampai tujuh generasi ke depan.
Seluruh pembicara menyampaikan keyakinan yang sama. Bahwa Indonesia bukan hanya rumah bagi ekosistem penting dunia, tetapi juga titik mula dari narasi baru tentang bumi yang lebih sehat, adil, dan berdaya. Planetary Guardians yang merupakan sebuah kolektif independen itu menganugerahkan penghargaan Lifetime Planet Protector kepada Chairperson of Forest, Nature and Environment Aceh Foundation (Yayasan HAkA), Farwiza Farhan, dan gelar Indigenous People Scientist kepada Peneliti Senior dan Pemimpin Proyek dari Papua, Fitry Pakiding. Pengakuan ini tidak hanya menegaskan pentingnya peran lokal dalam isu global, tapi juga memperlihatkan bahwa wajah-wajah pelindung planet kerap lahir dari komunitas yang hidup paling dekat dengan alam. [AD]