Kesehatan gusi sering luput dari perhatian dalam rutinitas perawatan diri sehari-hari. Perhatian terhadap gusi kerap tertinggal dibandingkan perawatan kesehatan lainnya. Padahal, kondisi gusi berkaitan erat dengan daya tahan tubuh dan kenyamanan beraktivitas. Ketika masalah ini tidak dikenali sejak awal, dampaknya bisa menjalar ke berbagai aspek kesehatan.
Inilah alasan mengapa isu kesehatan gusi layak mendapat perhatian lebih luas. Fakta ini menjadi perhatian utama dalam Indonesia Hygiene Forum 2025 yang digelar Unilever Indonesia bersama Pepsodent.
Forum tersebut membahas temuan ilmiah terbaru mengenai hubungan penyakit gusi dengan meningkatnya risiko penyakit tidak menular serta beban ekonomi yang ditanggung masyarakat. Data global menunjukkan tantangan ini kian nyata. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan pada 2050 sekitar 1,5 miliar orang akan mengalami penyakit gusi berat, sementara Asia Tenggara termasuk Indonesia mencatat prevalensi periodontitis yang tinggi.
Direktur Promosi Kesehatan dan Kesehatan Komunitas Kementerian Kesehatan RI, dr. Elvieda Sariwati, M.Epid, menyebut persoalan gigi dan mulut masih menjadi temuan utama dalam Program Cek Kesehatan Gratis yang menjangkau lebih dari 63 juta penduduk. “Hal ini memberi sinyal bahwa kebiasaan menjaga kesehatan gigi dan gusi masih perlu diperkuat di semua kelompok usia. Upaya ini membutuhkan kolaborasi, karena tantangan kesehatan gigi tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja,” ujarnya.
Risiko penyakit gusi di Indonesia dipengaruhi banyak faktor, mulai dari literasi kesehatan yang belum merata hingga pola hidup yang kurang mendukung. Guru Besar Ilmu Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Amaliya, drg., M.Sc., Ph.D., menjelaskan bahwa gejala awal penyakit gusi sering kali tidak terasa. “Pada tahap gingivitis, tanda peradangan muncul samar dan tidak menimbulkan rasa sakit. Saat masuk ke periodontitis, kerusakan jaringan penyangga gigi sudah terjadi dan sifatnya tidak bisa dipulihkan,” jelasnya.
Kondisi tersebut berdampak pada biaya perawatan yang meningkat dan waktu produktif yang tergerus. WHO mencatat kerugian produktivitas akibat masalah gigi dan mulut di Indonesia mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Di saat yang sama, pengeluaran per kapita masyarakat untuk perawatan gigi masih sangat rendah.
Penyakit gusi juga berkaitan erat dengan penyakit tidak menular. Spesialis penyakit dalam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Dicky Levenus Tahapary, Sp.PD-KEMD, Ph.D., menjelaskan adanya hubungan timbal balik antara diabetes dan penyakit gusi.
“Penyakit gusi dan diabetes memiliki hubungan dua arah. Kadar gula darah yang tinggi dapat mempercepat peradangan gusi, sementara infeksi pada gusi membuat pengendalian gula darah menjadi lebih sulit. Kondisi ini membuat penderita diabetes, khususnya tipe 2, memiliki risiko lebih tinggi mengalami keparahan penyakit gusi,” jelasnya.
Indonesia Hygiene Forum 2025 merumuskan sejumlah rekomendasi, termasuk penguatan edukasi sejak usia sekolah, integrasi kesehatan gigi dalam kebijakan nasional, serta kampanye promotif preventif lintas sektor. Harapannya, kesadaran merawat gusi tidak lagi dipandang sebagai urusan kecil, melainkan bagian dari upaya menjaga kualitas hidup perempuan dan keluarga dalam jangka panjang. [Angie]




