Menang Kalah di Arena Etu

Terdiri atas banyak suku, ilmu bela diri tradisional merupakan bagian adat istiadat yang menjadi kekayaan budaya Tanah Air. Salah satunya adalah Etu, yakni tinju adat yang dimiliki masyarat Kabupaten Nagekeo dan Ngada, Nusa Tenggara Timur. Berlokasi di tengah kampung, pelaksanaan tradisi etu ini harus berada di depan sebuah rumah adat yang tepat berada di mata angin utara dan selatan. Menurut kepercayaan masyarakat Nagekeo dan Ngada, posisi tersebut merupakan simbol pusat kosmos.

 

Bertujuan menguji kekuatan seseorang, menurut legenda masyarakat tradisi berasal dari dua orang kakak beradik yang memperebutkan tanah sebagai tempat tinggal. Menurut kisah tersebut, yang kalah maka harus angkat kaki dari sana. Selain berdasarkan kisah tersebut, prosesi yang dilakukan sebelum tinju adat yang rutin dilangsungkan setiap tahun ini juga memiliki makna tersendiri.

 

Rangkaiannya sesuai dengan siklus kehidupan sehari-hari dimulai dari menyiapkan lahan, masyarakat kemudian mesti bercocok tanam di tanah tersebut. Selanjutnya, mereka akan merawat, memanen, dan menikmati berbagai tanaman yang dirawat. Setelah bersama-sama menikmati hasil panen, barulah masyarakat merencanakan ritual Etu tersebut.

 

Gerakan demi gerakan yang ada dan teknik mengalahkan lawan juga dipercaya mampu membuat seorang pria menjadi lebih matang. Sebab, menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika seorang lakilaki terjatuh saat bertarung, hal buruk akan terjadi padanya. Dahulu arena Etu dianggap sebagai tempat untuk meningkatkan status sosial seseorang.

 

Baca Juga:

Daya Tarik Wayang Orang

Prosesi Mengantarkan Roh di Dayak Ngaju

 

 

Sebab, siapa pun pemenang pertarungan tinju adat ini bisa mendapat berbagai keuntungan seperti harta benda, hingga kepemilikan lainnya. Selain itu, ketika keluar sebagai pemenang berulang-ulang kali dan tidak ada lagi yang mau melawannya, orang tersebut akan dianggap sebagai seorang bangsawan. Masyarakat di sana percaya bahwa gelar bangsawan tidak bisa didapatkan hanya melalui keturunan semata melainkan harus diperjuangkan. Namun, kini etu lebih ditujukan untuk harmonisasi dan ikatan kekeluargaan.

 

Orang-orang yang terlibat dalam pertarungan ini bukanlah pendatang baru. Syarat untuk lakilaki yang ingin turun ke arena Etu harus melewati getologo (sunat) dan terlatih dalam pertarungan tinju. Pertumpahan darah dan air mata menjadi bukti seorang laki-laki yang telah matang.

 

Menjadi pertandingan yang cukup berbahaya, petarung tidak sendirian saat turun ke arena. Petarung didampingi seorang sike, yang bertugas memegangi kain ikatan agar tidak melewati batas. Jalannya pertandingan diatur oleh seka yang berfungsi pula sebagai penghalau maupun penengah ketika pemain sudah terkena pukulan atau menghajar membabi buta.

 

Indah K | Foto: Joel S/Beni S