Ria Miranda Pantang Menyerah & Selalu Bersyukur

Fashion Designer & Owner RiaMiranda

Berawal dari adanya kesulitan menemukan busana muslim untuk perempuan muda seusianya, nurani Ria Miranda kemudian bergejolak tak bisa berdiam diri dan tertantang untuk mengeluti dunia fashion di lini ini. Saat itu tahun 2005, dia mendapatkan kenyataan baju muslim identik dengan ibu-ibu. Kebetulan dia senang menonton fashion show di TV, lalu mencoba mix and match, menggores berbagai desain busana muslim, hingga timbul rasa penasaran mendalam. Setelah lulus SMA di Padang, tanpa ragu Ria meminta izin orang tua untuk mengambil sekolah fashion di Jakarta.

 

Namun, sayangnya ayah dan ibunya tidak mengizinkan dengan alasan saat itu bisnis fashion belum menjadi sesuatu yang menjanjikan. Ria kemudian menempuh studi jurusan ekonomi di Universitas Andalas, Sumatera Barat. “Setelah lulus ternyata saya masih penasaran dan alhamdulillah restu pun mengalir dari orang tua, saya merasa senang sekali. Kemudian saya bekerja di media, sekaligus menjadi asisten perancang busana,” ujar sang desainer & creative director Riamiranda ini mengawali percakapan dengan Women’s Obsession.

 

TERJUN BERBISNIS FASHION MUSLIM

 

Seiring berjalannya waktu, perempuan kelahiran Padang, 15 Juli 1985 ini kemudian memberanikan diri untuk membuat label sendiri bernama Shabby Chic by Ria Miranda. Terinspirasi dari dunia interior yang tengah tren, yaitu shabby chic style. Waktu itu dia belum percaya diri untuk memakai nama sendiri. Dengan bersemangat Ria berkata, “Saya mengambil benang merah desain yang berkarakter feminin, classy, dan bernuansa pastel. Dari awal saya memang suka mempercantik sosok perempuan lewat busana. Dua tahun kemudian saya mencoba rebranding dengan nama sendiri. Tak disangka kreasi saya ternyata digemari.”

 

Banyak hal telah dikerjakan oleh Ria sendiri, dari pemilihan bahan, membuat pola, maupun kontrol penjahitan sampai ke urusan penjualan. Kebetulan di dalam ‘darahnya’ sudah mengalir jiwa sales dan orang tuanya memang berprofesi sebagai pengusaha. Dua tahun berjalan rasa lelah pun terbayar, bisnisnya berjalan lancar. Namun, tentu yang namanya berbisnis sendiri, setiap hari sudah pasti masalah selalu ada, khususnya yang berkaitan di divisi produksi.

 

Ria Miranda

 

MILITANSI ANGGOTA KOMUNITAS

 

Mengenai sistem kepemilikan outlet, untuk area Jakarta sepenuhnya di-manage oleh timnya. Termasuk di Medan, Malang, dan Surabaya. Sementara, di luar itu lebih memakai sistem partnership. Dia merasa harus ada sosok yang mewakili dirinya untuk outlet di luar kota. Pendekatan strategi bisnisnya lebih fokus ke customer. Mereka di-treat layaknya seperti sahabat atau keluarga, lalu jika mau berlama-lama di butik juga tetap akan dilayani, sehingga mereka pun loyal terhadap brand ini.

 

Ria berterus terang kekuatan dari bisnisnya bisa berujung sukses, tak lain karena adanya militansi konsumen yang tergabung dalam komunitas Ria Miranda Loyal Community (RMLC). Jika dia tidak melansir koleksi baru akan kena tegur anggota komunitas. Mengenai awal terbentuknya, ini tak lain karena pelanggan di butik saling bertemu kemudian terjalinlah bersahabat. “Mereka memang membuat sendiri komunitas ini dan setelah diketahui manajemen kemudian didukung penuh dengan meresmikan RMLC pada tahun 2014. Kartu keanggotaan maupun aplikasinya juga difasilitasi, sehingga saat diadakan kegiatan bermanfaat seperti sharing session dengan bermacam tema, mereka pun terkomunikasikan,” lanjut Ria.

 

BACA JUGA: Natasha Vinski: Passion For Love and Humanity

 

KEKUATAN POLA SESUAI PASAR

 

Berbagai brand busana muslim di Tanah Air terus bermunculan bak jamur di musim hujan. Di satu sisi menjadi kebanggaan bangsa karena ke depannya Indonesia akan menjadi kiblat fashion muslim dunia. Di sisi lain persingan bisnis pun menjadi semakin ketat. Beragam style ditawarkan dan masyarakat tinggal memilih sesuai karakter masing-masing. Biasanya perempuan yang suka dengan gaya feminin dan bernuansa pastel akan memilih brand Ria Miranda.

 

Kekuatan di brand ini adalah pola-pola dasar busana yang diterapkan ke dalam beragam koleksi memang sudah cocok ke badan customer. Jadi, meskipun pembelian dilakukan secara online tidak menjadi masalah. Ria menerangkan, “Lima tahun belakangan ini kami menemukan formula yang tepat untuk baju-baju seperti apa saja yang kira-kira disukai oleh para pelanggan. Loyal customer rutin diundang secara khusus baik yang langsing maupun gemuk, tinggi atau pendek, untuk mencoba koleksi busana kami, lalu di-review apa yang kurang dan mesti disempurnakan. Masukan mereka sangat berarti untuk mengetahui keinginan konsumen dan ini menjadi salah satu kunci kesuksesan brand kami.”

 

 

KONDISI DEFENSIVE MODE

 

Efek domino wabah Covid-19 turut berdampak kepada para desainer di Indonesia. Termasuk berbagai produknya di bawah brand RiaMiranda, RiaMiranda Signature, RiaMiranda Essentials, Luna by RiaMiranda, Mind, hingga RiaMiranda Living yang menyediakan pilihan produk dekorasi rumah. Tak hanya gagal menggelar fashion show, rencana koleksi Fall/Winter 2020 mendatang juga harus dievaluasiulang untuk dipilih yang esensial saja dan melakukan restrukturisasi cash flow. Saat ini dari 26 butiknya hanya 20% saja yang masih buka dan melayani pembeli, dikarenakan adanya wabah Covid-19 dan mengalihkan penjualannya secara online.

 

Sebelum diberlakukan physical distancing, modest brand ini sempat mengisi pagelaran busana Fashion Nation Fashion Nation 2020 bertajuk ‘Dayu’, menyuguhkan warna-warna berbeda bernuansa pucat dominan lime green. Namun, agenda selanjutnya terpaksa dibatalkan seperti acara pembukaan butik baru di Lombok, Pangkal Pinang, dan sesi foto di Padang untuk launching koleksi ‘Nagari’. Tim Ria pun terpaksa mengadakan virtual open house untuk kedua butik baru tersebut lewat instagram live. Sementara, sesi foto dilakukan di rumah dengan mengandalkan anggota keluarga menjadi modelnya. Sehingga, meskipun mengurangi koleksi yang diluncurkan pada paruh kedua tahun 2020, Ria tetap menawarkan koleksi terbarunya ’Nagari’ untuk busana hari raya Idul Fitri 1441 H.

 

Beberapa cabang outlet Riamiranda terpaksa ditutup, lalu ada staf yang dirumahkan. Namun, sebagian karyawannya masih tetap dipekerjakan untuk membuat APD dan masker sebagai bantuan pascapandemi. Untuk maskernya sendiri diambil dari sisa bahan-bahan koleksi sebelumnya dan bagian dalamnya bisa dimasukkan tisu. Selain membantu sesama, ini juga sejalan dengan langkah untuk menjaga lingkungan dengan mengurangi limbah fashion.

 

Elly | Foto: Fikar Azmy

 

Untuk membaca artikel selengkapnya, dapatkan majalah digital Women's Obsession edisi Mei 2020