Tangkas & Fleksibel Pada Masa Krisis

Marianne Admardatine, CEO H+K Strategies Indonesia

Pengalaman bagi Marianne Admardatine merupakan guru terbaik kehidupan. Berbagai pengalaman didapatnya sejak terjun ke dunia komunikasi, mulai dari manajemen isu dan krisis, hingga keahlian khusus dalam soal gaya hidup, korporasi, dan konsumen. Pengalaman pula yang membuatnya direkrut untuk menjabat sebagai sebagai CEO H+K Strategies Indonesia, sebuah perusahaan public relations (PR) global dengan lebih dari 80 kantor di seluruh dunia.

 

Memimpin perusahaan multinasional bukanlah hal baru bagi perempuan yang akrab disapa Marianne ini. Sebelumnya, dia sempat memimpin agensi Wunderman & Thompson. Selama enam tahun dia bekerja sebagai managing director Ogilvy and Mather Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah berambisi dalam perjalanan kariernya, melainkan membiarkannya mengalir begitu saja.

 

Sama seperti anak muda pada masanya, dia menganggap profesi PR merupakan sesuatu yang menarik. “Manusia itu ada yang pintar berkomunikasi dan langsung mengerti pesan yang disampaikan, tapi ada juga yang tidak paham. Saya tertarik, karena saya tahu bahwa apa yang kita sampaikan dengan apa yang orang dengar itu kadang-kadang ada gap-nya. Dan tugas komunikator seperti saya, dan ahli lainnya dalam bidang komunikasi adalah bagaimana kita mendekatkan kesenjangan tersebut. Dan itu membutuhkan skill khusus,” tutur perempuan energik ini.

 

Tantangan dan Etos Kerja

 

Mengawali dari account executive, karier Marianne menanjak tanpa direncanakannya. “Pokoknya setiap kali ada tugas saya jalani. Tidak menyerah setiap kali ada hambatan. Dan pada waktu itu, terus terang saja dunia menurut saya lebih kejam. Sekarang lebih banyak empatinya. Tidak ada istilah kalau gagal akan diemong,” kenangnya saat pertama kali terjun ke dunia PR secara profesional.

 

Jatuh bangun pun kerap dialami ibu tiga anak ini. Tidak semuanya berakhir sukses. Namun, Marianne beranggapan bahwa selama kita meyakini bisa melakukannya, semangat untuk terus berjuang tentu akan semakin berkobar. Ditanya soal tantangan, menurutnya yang terbesar adalah masalah sumber daya manusia. Apalagi di zaman sekarang, ketika media sosial begitu erat dengan kehidupan, sering kali kita lebih memikirkan pencitraan dibandingkan hasil pekerjaan itu sendiri. “Karena saya datang dari generasi yang sempat mengalami kedua-duanya, analog dan digital, one key trick yang menurut saya bisa membantu adalah the ability to be agile, the ability to be flexible,” ungkapnya mengenai trik yang diterapkannya dalam bekerja.

 

Dia menerangkan lebih lanjut, fleksibilitas merupakan hal yang penting, karena kita tidak bisa menggunakan solusi yang sama untuk masalah yang berbeda. Kemampuan beradaptasi, terutama dalam situasi krisis akibat pandemi seperti sekarang ini, harus dimiliki setiap orang. Dalam pendekatan kepada klien pun harus siap mendengarkan, sehingga tahu apa yang mereka butuhkan. Jadi bukan hanya sekadar bagaimana bisa menjual semata. Marianne sering menekankan, baik kepada dirinya sendiri maupun timnya, mengenai peran PR sebagai trusted adviser. Menjadi penasihat tepercaya berarti harus melepaskan agenda dan target-target kita untuk mendengarkan dan memberikan empati kepada klien. “Setelah klien bisa melihat bahwa kita bisa dipercaya, tidak sibuk jualan, tidak hanya pura-pura mendengarkan, tapi benar-benar mengerti. Klien pasti lebih terbuka, pembicaraan pun akan lancar,” ujarnya.

 

Menyadari imbas pandemi, perusahaan pun dituntut untuk berinovasi menghadapi keadaan. Pergeseran platform menjadi tidak terhindarkan. Media sosial semakin berperan penting sebagai ujung tombak komunikasi. Kalau dulu hanya ditawarkan sebagai added value, kini justru menjadi andalan. “New normal berarti kebiasaan baru, cara berpikir baru. Jangan berpikir ini kondisi sementara, kita justru harus memikirkan bagaimana kita dapat terus berkembang ke depannya setelah Covid-19,” papar perempuan yang selalu berusaha menerapkan work life balance ini.

 

Marianne mengakui bahwa dirinya sering dianggap workaholic oleh para rekan kerjanya, karena sering melakukan semuanya sendiri. Sekarang dia berusaha melepaskan sedikit demi sedikit, membiarkan tim yang mengerjakan, dan hanya bantu mengedit atau memberikan saran saja. “Saya mulai merasa bahwa tenaga sudah mulai berkurang. Oke, jangan sampai burn out. Lalu saya mulai kurangi, karena ingin ada regenerasi supaya pengetahuannya tidak berhenti di saya,” harapnya dengan sungguh-sungguh.

 

Nur A | Foto: Fikar Azmy