Memiliki karier cemerlang, nama Lestari Moerdijat kerap diidentikkan dengan kerja keras dan piawai berorganisasi. Hal itu menjadi motor yang membawanya menjadi salah satu jajaran wakil ketua MPR RI periode 2019-2024. Kepada Women’s Obsession, Lestari yang akrab disapa Rerie ini, mengungkapkan karena sebelumnya lebih dikenal sebagai profesional, maka ketika dirinya melenggang ke Senayan, tak sedikit yang menyebutnya sebagai ‘anak baru’ di parlemen.
Namun, sesungguhnya di Partai NasDem Rerie adalah Anggota Majelis Tinggi yang memulai karier politiknya sejak awal berdirinya partai. Berbagai tugas penting partai sudah diembannya, termasuk menjadi koordinator pemenangan wilayah Jateng dan DIY sejak awal Partai NasDem berdiri, hingga pada Pemilihan Umum Legislatif pada 2019 lalu.
Pada kesempatan dua kali Pemilihan Umum Presiden, Rerie tercatat sebagai wakil bendahara di tim pemenangan JKW - JK pada 2014 dan wakil bendahara di tim JKW - MA 2019. Perjalanan karier politiknya mengantarkan Rerie ditugaskan Partai NasDem menjadi Wakil Ketua MPR RI periode 2019-2024. Pada periode ini, Rerie menjadi satu-satunya perempuan dalam jajaran pimpinan lembaga tinggi negara ini.
Dalam wawancara, Rerie menuturkan, perempuan yang mencapai posisi tinggi di suatu lembaga negara sebetulnya bukanlah hal baru. “Sejarah mencatat sejak ratusan tahun lalu Indonesia mempunyai sejumlah perempuan yang menjadi pemimpin. Sejak abad ketujuh sudah ada jejak-jejak kepemimpinan perempuan yang bukan hanya sebagai hiasan, tapi betul-betul memiliki legitimasi, kapasitas, dan kapabilitas. Mulai dari Ratu Sima, Ratu Kalinyamat, hingga Laksamana Malahayati dan Tjoet Nyak Din, serta banyak sejumlah nama lain dalam catatan sejarah modern,” ujarnya.
Sehingga, menurutnya lagi, “Bila saat ini ada perempuan di jajaran pimpinan lembaga tinggi negara sesungguhnya itu adalah hal biasa.” Meskipun, tegas Rerie, perjalanan perempuan menjadi pemimpin belum sepenuhnya mulus dan masih sering mendapat tantangan dan hambatan. Saat ini peluang dan kesempatan perempuan mengemban jabatan strategis semakin luas. Hal ini tidak lepas dari semakin banyaknya perempuan berkemampuan setara, bahkan melebihi pria. Selain itu, ada hal yang juga perlu disoroti dan menjadi tantangan perempuan saat ini, yaitu partisipasi kaum hawa dalam bidang politik.
Salah satu kanal untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik adalah keterwakilan di parlemen. Dan saat ini sesungguhnya sudah ditetapkan persyaratan 30% kuota perempuan. Sayangnya, realita saat ini hal tersebut baru tercapai sebatas pemenuhan persyaratan sebagai calon anggota legislatif. Akibatnya, pada saat kontestasi tidak semua perempuan yang menjadi calon anggota legislatif bekerja bagi keterpilihan dirinya dan siap menjadi wakil rakyat.
Oleh karena itu, perjuangan kita ke depan adalah 30% keterwakilan perempuan di parlemen harus terjadi dan bukan sebatas pada persyararatan pencalonan. Kita harus mendorong agar partai politik benar-benar merencanakan kadernya dan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjadi anggota parlemen. Para calon legislatif perempuan nantinya harus mampu dan siap bertanding di lapangan, bukan asal memenuhi kebutuhan kuota saja,” tegasnya.
Untuk membuktikan kepada publik bahwa perempuan juga mampu, Rerie mengungkapkan, bahwa dia harus benar-benar bekerja dan menjalankan tugas serta amanah yang diembannya semaksimal mungkin. Termasuk, jelasnya, dalam kondisi wabah Covid-19 yang sudah berlangsung enam bulan ini, tidak boleh menjadi alasan untuk menghalanginya dalammenjalankan tugas. “Kita menghadapi situasi sulit dan tidak disangka-sangka. Pola hidup, termasuk pola kerja harus disesuaikan karena adanya keterbatasan,” lanjutnya lagi.
Rerie menjelaskan, dalam kapasitas sebagai legislator, semua anggota DPR/MPR harus tetap menjalankan kegiatannya. “Meskipun ada keterbatasan kegiatan fisik, kami tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab kepada masyarakat
di daerah pemilihan,” ungkap Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Daerah Pemilihan II Jawa Tengah ini. Sebagai wakil rakyat, dia harus peduli terhadap konstituennya yang terdampak kebijakan pengendalian Covid-19, hingga terkena pemutusan hubungan kerja.
“Semaksimal mungkin kita harus memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi, termasuk berupaya menggali potensi yang ereka miliki untuk kemudian didorong. Agar potensi itu bisa menjadi sandaran alternatif untuk kelangsungan hidup mereka pada masa pandemi ini,” tuturnya.
Naskah Angie Diyya
Untuk membaca selengkapnya, dapat dilihat di majalah cetak dan digital Women's Obsession 65