Kenduri Perdamaian Menjawab tantangan Keamanan Non-tradisional

 

Pada awal tahun ini, pemerintah Indonesia kembali memperkuat komitmen untuk melindungi dan memberdayakan perempuan dan anak dalam konflik sosial. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (KemenKo PMK) bekerja sama dengan Badan PBB untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (UN Women) dan Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menyelenggarakan “Kenduri Perdamaian”.

 

Kegiatan “Kenduri Perdamaian” bertujuan untuk menyosialisasikan, menyediakan sarana koordinasi antara pemerintah, dan menjadi ruang apresiasi terhadap Rencana Aksi Nasional untuk Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) II tahun 2020-2025.

 

Mengusung tema “Membangun Kembali dengan Lebih Baik untuk Memastikan Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Perempuan dalam Konflik Sosial” acara melibatkan pejabat pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil (CSO), aktivis perempuan, badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan mitra pembangunan.

 

Indonesia meluncurkan RAN P3AKS pertama pada tahun 2014-2019. RAN P3AKS II mendesak semua pemangku kepentingan untuk terus melakukan tindakan bersama dalam perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik sosial di Indonesia. RAN P3AKS II berfokus pada tiga pilar, yaitu pencegahan, penanganan serta pemberdayaan.

 

Partisipasi ini merupakan cetak biru bagi Pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan agenda Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (Women Peace and Security/WPS). Kebijakan di level nasional ini juga telah diterapkan oleh pemerintah daerah melalui kolaborasi dengan masyarakat sipil untuk melakukan sosialisasi dan implementasi RAN P3AKS di sejumlah daerah Indonesia yang rentan konflik sosial.

 

 

Menteri PPPA, Bintang Puspayoga menegaskan perempuan dan anak sebagai individu yang termasuk kelompok rentan, memiliki risiko dalam menerima dampak yang lebih parah dari situasi konflik yang terjadi. Daerah-daerah yang mengalami konflik sosial dihimbau untuk ikut mengawal keterlibatan perempuan, mulai dari manajemen, perundingan, hingga resolusi konflik. Ke depannya Indonesia dapat mengubah stigma yang awalnya perempuan sebagai korban dalam kondisi konflik, menjadi perempuan sebagai agen perdamaian dan keamanan internasional.

 

Agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan sangat penting untuk menjawab tantangan keamanan non-tradisional yang mendesak dan mulai muncul di Indonesia, termasuk pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung. RAN P3AKS II mengakui dan menyoroti pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan dan masalah keamanan spesifik yang dihadapi oleh perempuan dan anak perempuan dengan berlatar pada konteks saat ini, seperti sengketa tanah dan konflik sumber daya alam, disinformasi dan ujaran kebencian online yang dapat mengarah pada intoleransi dan radikalisme.

 

 

“Hal inilah yang membuat RAN P3AKS II menjadi tidak hanya relevan dan kontekstual, tapi juga sangat strategis terutama dengan Presidensi Indonesia di G20, yang mengambil tema ‘Pulih Bersama’. RAN ini menegaskan perlunya strategi khusus untuk menghadapi berbagai fenomena seperti ekstremisme berbasis kekerasan, radikalisasi melalui ranah online, perubahan iklim, dan pandemi COVID-19 yang berdampak secara tidak proporsional terhadap perempuan dan anak perempuan,” ungkap Dwi Faiz, Head of Programmes UN Women Indonesia.

 

Perempuan bisa menjadi agen perdamaian dan perubahan. Dalam situasi krisis seperti konflik dan pandemi, perempuan termasuk dalam kelompok masyarakat yang terdampak secara tidak proporsional. Meski begitu, perempuan juga memimpin jalan untuk membangun kembali lebih baik. Hal ini disampaikan oleh Pegiat Perdamaian Aceh, Rasyidah dan Komika Sakdiyah Ma'ruf yang turut hadir pada acara tersebut.