Tobatenun yang berdiri sejak tahun 2018 merupakan aspirasi dari Kerry Na Basaria dan ibunya Devi Panjaitan Br Simatupang sebagai wujud kecintaan keduanya terhadap budaya Batak. Mengingat belum ada orang yang benar-benar secara holistik dan keseluruhan fokus akan hal ini.
“Kebetulan sejak dulu Ibu dan kakak saya yang tinggal di Solo memang seorang kolektor kain batik, tenun Bali, Sumba, dan ulos. Lalu, karena kami orang Batak akhirnya terpanggil untuk fokus di Tobatenun sebagai organisasi dan komunitas budaya yang berkonsentrasi pada program revitalisasi maupun pengembangan tenun, khususnya tenun Batak,” ujar Kerry yang menjabat sebagai Founder & CEO Toba Tenun Sejahtra.
Pendekatannya mengarah ke sustainable fashion fokus terhadap tiga pilar utama, yaitu pengembangan dan komersial produk-produk tenun Batak, ready to wear, dan pengembangan komunitas artisan serta regenerasi perajin tenun. Tobatenun berupaya meningkatkan edukasi baik secara teknik maupun material terhadap perajin untuk mencapai standarisasi kualitas tenun. Sehingga dapat menghasilkan kompetensi, sekaligus mengolah tenun Batak menjadi kreasi produk kontemporer yang mampu bersaing di industri mode tanah air hingga mancanegara.
MERANGKUL PENENUN MUDA
Sebenarnya jumlah penenun muda sekarang cukup banyak, hanya saja masalahnya apakah mereka mau meneruskan pekerjaan ini atau tidak ke depannya, karena biasanya mereka mendapatkan skill ini dari ibu atau nenek mereka.
Peraih Bachelor of Arts jurusan sejarah dari University of Sydney ini melanjutkan, “Melihat susahnya mencari uang dari menenun, perempuan muda di Tanah Batak biasanya merantau atau pergi bekerja di tempat lain. Dari situlah penting untuk menciptakan ekosistem sehat yang menjadikan tenun bisa diandalkan sebagai karier untuk mereka. Kami di Tobatenun benar-benar berusaha merangkul mereka. Membimbing satu per satu dan meyakinkan bahwa ini merupakan pekerjaan yang mulia sebagai penjaga budaya dan filosofi yang harus tetap dipertahankan dengan baik.”
Tobatenun sendiri memberikan harga di atas pengumpul yang lain dan menghasilkan harga fair trade yang benar-benar sesuai dengan hasil yang mereka lakukan.
BACA JUGA:
Sri Widowati: Menantang Ketidaknyamanan
Amanda Putri Witdarmono: Memupuk Gairah Belajar
“Bukan hanya itu, kami pun sangat senang jika para penenun bisa mandiri, menjadi pelaku UMKM atau berbisnis sendiri. Itulah sebabnya, kami melakukan pelatihan dan bimbingan secara menyeluruh, bukan hanya ketrampilan menenun untuk mempersiapkan mereka lebih maksimal. Saat ini kolaborasi dengan berbagai pihak, baik dukungan pemerintah pusat dan daerah terus dilakukan,” ujar Kerry dengan nada optimis.
Tobatenun memiliki distribution platform lewat website yang dipasarkan bukan hanya untuk pasar domestic, tapi juga internasional. Sementara, untuk showroom berada di gedung Sopo Del Office Tower Mega Kuningan, Jakarta berdampingan dengan kantor.
MENGHADAPI BERBAGAI KENDALA
Berbicara mengenai kendala di lapangan, menurut Kerry salah satu yang dihadapi komunitas tenun di Sumatra Utara atau Toba adalah bahan baku. Karena aksesnya agak sulit, sehingga penenun terpaksa berutang ke tokek benang atau mafia benang.
Ketika mengutang mereka jadi terbelenggu dengan penghasilan yang pas-pasan dan tidak konsisten. Dia ingin menciptakan kemandirian para penenun, sehingga mereka bisa memiliki akses benang dan pewarnaan tersendiri.
Putri bungsu dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI Luhut Binsar Pandjaitan ini menambahkan, “Lalu, ada juga lost of knowledge akan motif-motif yang punah, karena mereka lebih mengutamakan mengerjakan motif yang lebih mudah terjual. Lost of Innovation maupun passion pun terjadi pada mereka dan terbelenggu pada kemiskinan yang berujung pada isu-isu masalah sosial. Karena penenunnya mayoritas perempuan di platform kami tersedia informasi mengenai kesehatan reproduksi dan KDRT.”
Tobatenun juga mendirikan rumah komunitas Jabu Bonang karena merupakan salah satu bentuk usaha dalam pengembangan komunitas artisan dan stakeholders kain tenun di Sumatra Utara. Bersama Jabu Bonang, upaya untuk terus mengembangkan tenun Batak tidak sebatas pada revitalisasi, namun juga inovasi dalam mengolah kain tenun dengan motif kontemporer.
Ini merupakan hasil riset dari berbagai macam elemen seni dan budaya Batak untuk menghasilkan kain yang bisa mengisi kebutuhan orang masa kini selain kebutuhan adat. Tobatenun tetap mempertahankan intisari dari seni budaya yang diadaptasi, tanpa mengusik kain dengan motif dan kegunaan yang bernilai sakral.
Ketika menghadapi berbagai permasalahan rumit, Kerry berterus terang biasanya dia berdiskusi dengan kedua orang tuanya. “Hubungan kami memang sangat dekat. Kebetulan ibu saya adalah founder dari Tobatenun. Kalau sedang sulit mengambil keputusan saya langsung meminta masukan ibu yang selama ini menjadi guardian angel saya. Untuk memajukan suatu aspirasi mulia kita harus melibatkan semua generasi, agar mendapatkan insight yang mendalam dari mereka yang sudah lebih berpengalaman,” ujarnya seraya menutup pembicaraan dengan Women’s Obsession.
Elly S | Fikar A