Berlangsungnya perhelatan MotoGP di Sirkuit Mandalika beberapa waktu yang lalu turut membuat nama Lombok ramai diperbincangkan. Pulau yang berlokasi tidak jauh dari Bali ini memang memiliki segudang hal menarik. Mulai dari keindahan alam, hingga budaya yang masih terjaga sampai saat ini, seperti peresean.
Peresean sendiri merupakan pertunjukan seni tari yang menjadi simbol kesatria suku Sasak di Pulau Lombok pada zaman dahulu. Ketika itu, peresean merupakan sebuah seni bela diri. Tarian ini juga digunakan untuk melatih ketangkasan, ketangguhan, dan keberanian dalam bertarung. Di sisi lain, tari peresean ini juga kerap dilakukan sebagai ritual masyarakat agraris Lombok untuk mendatangkan hujan pada musim kemarau. Kebiasaan ini bahkan telah dilakukan sejak abad ke-13.
Ketika melakukan tarian ini, ini, penari (pepadu) yang berjumlah dua orang membawa tongkat rotan (penjalin) dan sebuah perisai kulit kerbau tebal dan keras (ende) yang biasanya berukuran 50x50cm. Tidak sembarangan, pepadu yang terpilih harus memiliki tiga sifat, yaitu wirase, wirame, dan wirage. Wirase merupakan cara pepadu menggunakan perasaan dan hatinya selama menari. Dia harus tetap menggunakan perasaannya, meskipun sedang menghadapi lawan dan meraih kemenangan. Sementara wirame merupakan gerakan yang dilakukan pepadu. Meski dimainkan layaknya pertarungan, gerakan dibawakan layaknya sebuah tarian yang memiliki tempo cepat. Selain dilakukan untuk menghindari rasa tegang, gerakan yang dipilih pun harus mampu mempengaruhi lawan bertandingnya. Terakhir, ada wirage, yakni kondisi fisik sang penari yang dianggap kuat, sehingga mampu menghadapi lawan dan memenangkan pertarungan.
Baca Juga:
Festival Musim Dingin di Jepang
Tradisi Untuk Anak-anak Perempuan
Selain kedua penari, ada pula wasit atau yang biasa disebut dengan pakembar. Berbekal sebuah ikat kepala (saput) dan kain pengikat pinggang (bebadong) seorang pakembar memiliki tanggung jawab untuk mengawasi kedua penari. Selain memantau jalannya tarian, pakembar bertugas memilih pepadu. Ada dua cara yang umum dilakukan, yakni kedua pepadu mengajukan diri, atau dipilih sang wasit.
Peraturan yang diterapkan adalah tidak boleh memukul bagian perut, hingga ke area bawah. Hanya diperbolehkan menyerang bagian atas seperti kepala, pundak, dan punggung. Saat tarian mulai berlangsung,kedua gerakan pepadu akan diiringi alunan dari gamelan sasak yang terdiri dari gendang, suling, gong, dan rincik. Ritme yang dipilih akan meningkatkan semangat bertarung.
Suara musik yang dihasilkan bahkan dipercaya mampu mengurangi sakit akibat pukulan rotan. Pada beberapa kesempatan, bahkan dimainkan pula alunan khusus yang kerap menghadirkan kesan mistismenurut kepercayaan masyarakat setempat. Nantinya, pertandingan akan dihentikan ketika diminta oleh pakembar.
Salah satu hal menarik dari tradisi ini adalah larangan membawa dendam keluar arena. Maka, ketika pertandingan usai, kedua belah pihak harus menerima hasil dari apa yang mereka lakukan. Umumnya keduapepadu akan bersalaman dan berpelukan setelah hasil diumumkan. Meski dari awal kemunculannya hingga sekarang tarian ini kerap disakralkan, tapi Tari Peresean kini mulai dilakukan pada acara-acara besar di luar upacara adat. Sekaligus menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan baik lokal maupun mancanegara