Dark Tourism: Ketertarikan pada Sisi Gelap Kehidupan

 

Wisata mengunjungi situs-situs yang terkait dengan kematian, kejahatan, atau subjek mengerikan lainnya telah ada selama berabad-abad. Kita pun kemudian mengenal istilah dark tourism atau jika diterjemahkan secara bebas menjadi wisata sejarah kelam yang menarik minat banyak orang tersebut. Tak sedikit yang mengunjungi situs atau tempat seperti itu, karena makna sejarahnya, atau ingin belajar dari pengalaman, meskipun tidak diragukan lagi ada yang lebih tertarik dengan kematian maupun rasa sakit.

 

Pada zaman Romawi, ‘turis’ mengunjungi Colosseum, menyaksikan para gladiator bertarung sampai mati. Pada zaman Georgia, Anda bisa pergi ke lokasi pembunuhan dan melihat pembunuhnya dihukum mati di dekatnya, hubungan antara individu dan lokasi eksekusinya dibuat eksplisit. Bahkan pada zaman Victoria, orang berduyun-duyun untuk menonton hukuman gantung publik. Ada pula yang memanfaatkan momen tersebut untuk menghasilkan uang dengan menjual selebaran, atau dengan menyediakan minuman bagi penonton. Bagi pemilik tempat tinggal dekat dengan lokasi eksekusi, dapat meminta uang kepada penonton yang ingin melihat penggantungan dari jendela atau balkon mereka demi mendapatkan pemandangan terbaik.

 

Ketertarikan pada sisi gelap kehidupan adalah bagian dari sifat manusia. Disadari ataupun tidak kita sering kali mencarinya dalam cerita surat kabar, pameran, artefak museum, program televisi maupun dari podcast yang belakangan menjadi sumber informasi populer. Peminatnya pun berasal dari beragam usia yang menyukai kunjungan ke situs-situs dengan sejarah kelam di baliknya. Sebut saja Pulau Onrust yang menyisakan bekas bangunan karantina haji atau penjara bawah tanah di Museum Sejarah Jakarta yang menyimpan banyak misteri.

 

Gereja San Bernardino alle Ossa di Italia

 

Pemakaman pun telah lama menjadi ‘atraksi’ turis dan tujuan hiburan yang tidak biasa. Katakombe Paris, misalnya, ramai dikunjungi orang-orang kaya di sana selama abad ke-18, karena penasaran. Dan pada awal abad ke-19 katakombe dibuka untuk umum beberapa kali dalam setahun. Akibat permintaan publik terus meningkat, akhirnya dibuka setiap hari untuk melayani sejumlah besar orang yang ingin melihat tulang dan tengkorak yang dipamerkan.

 

Saat ini, ada antrean panjang turis yang menunggu masuk ke katakombe Paris setiap hari, dan ke situs serupa lainnya yang terbuka untuk umum, seperti Sedlec Ossuary di Republik Ceko, yang dikunjungi 200.000 orang setiap tahun. Pada awal abad ke-20, mengunjungi situs kuburan terkenal dipandang sebagai kegiatan yang sah untuk diikuti, dan keindahan kuburan dan kuburan digunakan pembenaran wisata semacam itu.

 

BACA JUGA:

Pilihan Destinasi Khusus K-Lovers

Preserving the Environment

 

Banyak pula situs yang berusaha menyeimbangkan antara edukasi dengan hiburan untuk menarik pengunjung, dan berbuntut mengagungkan peristiwa masa lalu yang suram. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang apakah etis, atau bermoral, untuk membuka situs yang terkait dengan kematian atau kejahatan lalu membebankan biaya masuk dan menjual kenang-kenangan atau suvenir. Namun, tak dapat dipungkiri pula bahwa pariwisata sejarah kelam ini dapat membantu memberikan pendidikan melalui contoh nyata. Seperti situs kamp konsentrasi Auschwitz yang menyajikan berbagai artefak, seperti sepatu berwarna gelap dan lapuk yang dipakai tahanan yang dipenjara atau dibunuh di sana.

 

Artefak-artefak tersebut dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, tetapi membuat Anda juga menyadari banyaknya orang yang menemui ajal mereka selama Perang Dunia II. Orang dapat berargumen bahwa kehadiran artefak semacam itu tidak perlu dan tidak menghormati mereka yang meninggal, dan kehadiran potongan rambut dari sekitar 140.000 korban Auschwitz, yang dipamerkan di depan umum, tentu saja bukan untuk orang yang mudah tersinggung. Namun dengan menampilkan barang-barang seperti itulah kita mengenali ketidakmanusiawian dari pelaku yang menimbulkan rasa sakit pada individu-individu ini, dan kemanusiaan mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang seperti kita, dan dengan melihat harta benda mereka, kita dapat berempati dengan penderitaan mereka.

 

Situs pemakaman di Tana Toraja

 

Mengunjungi situs seperti Auschwitz dapat membantu memahami kekejaman dari masa lalu, sekaligus menunjukkan relevansinya dengan masyarakat saat ini. Dengan mengunjungi tempat kejahatan dilakukan, dengan melihat bukti individu yang terkena dampak tindakan ini, menjadikan peristiwa itu nyata, bukan sekadar daftar tempat atau tanggal dalam sebuah buku. Materi pelajaran sejarah itu mungkin kelam, tetapi bukan berarti harus dilupakan.

 

Pada kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya. Kita perlu belajar dari kejahatan, dan kita juga perlu menerima kematian sebagai keniscayaan daripada mencoba menyangkalnya. Dengan mengunjungi kuburan, penjara, dan katakombe, kita belajar tentang pengalaman manusia, baik hidup maupun mati. Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai hiburan yang mengerikan, tetapi lebih banyak lagi yang mendapatkan nilai darinya sebagai pengalaman pendidikan. Bagaimana dengan Anda?