Dimainkan dengan cara digoyangkan, angklung telah dinobatkan sebagai ‘The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity’ oleh UNESCO pada 16 November 2010. Sejak saat itu, setiap tanggal 16 November ditetapkan sebagai Hari Angklung Sedunia.
Berasal dari bahasa Sunda ‘angkleung-angkleungan’, yaitu gerakan pemain angklung dan suara yang dihasilkannya. Secara etimologis angklung berasal dari kata ‘angka’ yang memiliki arti nada dan ‘lung’ berarti pecah. Kedua kata tersebut, merujuk pada nada yang pecah atau tidak lengkap yang dihasilkan batang-batang bambu pada angklung saat dimainkan.
Tidak sembarangan, angklung dibuat menggunakan jenis-jenis bambu tertentu. Seperti bambu hitam, bambu surat, apus, atau gombong. Alat musik yang satu ini sudah berkembang sejak abad ke-12 atau lebih tepatnya pada masa Kerajaan Sunda. Kala itu, masyarakat percaya bahwa irama yang dihasilkan benturan bambu berbagai bentuk pada angklung bisa menarik perhatian Nyai Sri Pohaci atau lebih dikenal dengan Dewi Sri yang merupakan dewi padi dan kemakmuran. Pada saat musim panen tiba, masyarakat akan mengadakan upacara adat dan memainkan angklung dengan harapan sang dewi memberkati mereka dengan hasil panen yang subur.
Baca Juga:
Sajikan Atraksi Live Teppanyaki
Pertunjukan Musikal Karaeng Pattingalloang dan Dewi Sri di Gelaran B20
Berdasarkan jenisnya, angklung terdiri dari beberapa jenis, salah satunya angklung Kanekes. Berasal dari Baduy, angklung ini hanya ditampilkan pada momen-momen tertentu, seperti upacara menanam padi. Pembuatan angklung pun hanya dilakukan oleh orang suku Baduy Dalam yang memiliki keturunan darah langsung. Tidak hanya itu, menggunakan angklung di luar ritus padi harus sesuai dengan peraturan adat yang berlaku, seperti angklung boleh ditabuh hingga masa ngubara pare, yakni sekitar tiga bulan sejak ditanamnya padi.
Jika waktu tersebut telah berlalu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan dan hanya boleh digunakan pada masa tanam selanjutnya. Berkembang di wilayah Banten Selatan, seperti Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang, terdapat jenis angklung lain yang dikenal dengan nama Angklung Dogdog Lojor.
Para pria yang memainkan angklung tersebut berjumlah enam orang. Dua orang di antaranya bertugas memainkan angklung Dogdog Lojor, dan empat lainnya angklung besar. Alat musik tradisional ini biasa dimainkan saat ritual bercocok tanam.
Jenis selanjutnya adalah Angklung Reog yang biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan Reog Ponorogo khas Jawa Timur. Berbeda dengan angklung pada umumnya, suara yang dihasilkan angklung reog lebih keras dan hanya memiliki dua nada. Secara tampilan, jenis angklung yang satu ini juga berbeda, yakni ada hiasan benang warna merah dan kuning di bagian atasnya.
Selain tiga jenis angklung di atas, masih ada beberapa jenis lain, yakni Angklung Badeng, Buncis, Padaeng, Sarinande, Toel, dan lain-lain. Selain dirayakan oleh masyarakat Indonesia, perayaan Hari Angklung Sedunia juga ditampilkan sebagai doodle di mesin pencari Google pada 16 November 2022.