Bagi Skin Game, percakapan dengan pelanggan adalah bagian penting dari proses kreatif. Lewat program-program interaktif, setiap pengalaman yang dibagikan menjadi benih inspirasi, lalu tumbuh menjadi inovasi yang dekat dengan kebutuhan nyata.
Tak ada keberhasilan yang datang sekejap. Perjalanan Skin Game sebagai brand lokal dimulai dari langkah kecil yang penuh perhitungan. Dengan modal terbatas dari tabungan pribadi, sang pendiri Michella mengatur setiap rupiah untuk memenuhi kebutuhan marketing, operasional, hingga produksi. Di awal berdiri, semua pekerjaan dijalankan sendiri, dari merancang produk hingga mengirimkan pesanan. Perlahan, ketekunan itu membuahkan hasil. Skin Game mulai dikenal, tumbuh, dan mencetak keuntungan. Kini, bisnis yang dulu dijalankan dari rumah telah berkembang dengan tim yang lebih besar, gudang yang memadai, dan kantor ruko milik sendiri.
Mengapa Anda memilih strategi slow beauty dalam bisnis ini?
Saya percaya bahwa kami tidak perlu menciptakan terlalu banyak varian produk. Yang terpenting adalah menghadirkan produk yang tepat dan efektif. Proses pengembangan produk Skin Game melibatkan formulator berpengalaman di bidang farmasi, sehingga setiap produk yang kami rilis telah melalui riset yang matang. Kami juga memastikan bahwa semua produk diproduksi di pabrik di Indonesia dengan standar yang baik.
Apa tantangan dalam membangun brand kecantikan lokal?
Persaingan sangat ketat. Banyak brand baru bermunculan dengan strategi pemasaran agresif. Tapi sejak awal, Skin Game memilih memperkuat hubungan dengan pelanggan. Basic Skin Care kami menjadi pilihan banyak orang bukan hanya karena kualitasnya, tetapi juga karena kedekatan kami dengan mereka.
Bagaimana cara Skin Game berkomunikasi langsung dengan pelanggan?
Dari awal berdiri, Skin Game berfokus ingin menjadi brand yang mudah diingat karena komunikatif. Kami tidak hanya menghadirkan produk, tetapi juga membangun komunikasi langsung dengan pelanggan. Ada program online consultation langsung dengan founder atau komplain langsung, sehingga pelanggan bisa menyampaikan pengalaman secara real-time. Hal ini membantu menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Apa strategi utama Anda dalam memahami pelanggan?
Kami terus mengeksplorasi fitur-fitur teknologi, terutama di e-commerce, dan kami memanfaatkan setiap peluang untuk tetap relevan. Saya dan tim aktif berdiskusi bukan hanya melalui riset formal seperti focus group discussions atau wawancara, tetapi juga dalam obrolan santai. Kami punya program “Ngobrol dengan CEO,” saya menjadwalkan pertemuan acak dengan pelanggan secara online. Ada juga “Call Plan to Founder". Jadi pelanggan langsung menghubungi saya. Dari sini, saya mendapatkan banyak insight yang tidak bisa ditemukan hanya dari angka di laporan.
Skin Game dikenal sebagai brand kecantikan, tapi kini juga aktif di bidang edukasi. Apa latar belakangnya?
Saya percaya bahwa kecantikan tidak hanya seputar perawatan kulit, tetapi juga pengembangan diri. Dari situ, lahirlah Skin Game University, program yang mendukung kemajuan pendidikan melalui berbagai inisiatif. Salah satu yang utama adalah Beasiswa Skin Game sebagai bentuk CSR kami. Programnya terdiri dari beberapa kategori, seperti #BeasiswaMichella, yang saya biayai langsung, serta beasiswa untuk mahasiswa, kelas personal development, dan bantuan tenaga pengajar.
Apa yang bisa dilakukan brand baru agar bisa bersaing?
Bagi saya yang paling penting adalah membangun brand yang mempunyai meaning. Konsumen sekarang memiliki banyak pilihan, dan mereka cenderung lebih loyal pada brand yang memiliki nilai sesuai dengan mereka. Brand harus bisa menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar produk, sebuah pengalaman atau identitas yang membuat pelanggan ingin kembali.
Bagaimana cara Anda menerapkan strategi itu di Skin Game?
Kami selalu mengombinasikan data kuantitatif dan kualitatif. Misalnya, saat meluncurkan produk baru, kami tidak hanya melihat angka penjualan, tetapi juga respons dan cerita dari pelanggan. Kami mau memastikan bahwa setiap produk yang dibuat benar-benar memberikan manfaat dan pengalaman berkesan. Brand harus bisa lebih dari hanya menjual produk, tapi juga membangun koneksi emosional dengan audiensnya. Itu yang selalu saya ingat.
Naskah: Angie Diyya | Foto: Dok. Pribadi