Serenitree, Cerminan Perjalanan Pribadi Sandra Djajadisastra

 

Setelah bertahun-tahun mencari produk yang tidak memicu reaksi pada kulit sensitifnya, Sandra Djajadisastra akhirnya memahami betapa rumitnya perjalanan itu. Sebagai formulator dan beauty expert, dia mengerti dengan jelas apa yang tertulis di label skincare. Namun, pemahaman teknis tidak serta-merta membuat pencarian jadi lebih mudah. Karena, sayangnya masalah kulit tidak selalu bisa dihindari hanya karena seseorang tahu banyak tentang perawatan kulit.

 

Dari pengalaman itu, Sandra kemudian mendirikan Serenitree, sebuah brand yang mengambil jalur berbeda di tengah ramainya industri kecantikan Indonesia. Keputusannya bukan untuk tampil beda, melainkan karena ia melihat ada hal yang kurang tepat dalam cara industri ini bekerja. Ia merasa banyak produk yang menjanjikan hasil cepat, tapi kurang jujur dan jarang membahas dampak jangka panjangnya bagi kulit maupun lingkungan.

 

“Perjalanan lahirnya Serenitree bermula dari keresahan saya secara personal, yaitu perjuangan saya mengatas kulit saya yang sensitif dan bagaimana saya berusaha menemukan produk kecantikan yang aman bagi diri saya dan lingkungan,” tuturnya.

 

Clean & Conscious Beauty menjadi fondasi Serenitree. Tidak hanya sebatas bebas paraben atau pewangi sintetis, melainkan setiap keputusan formulasi mempertimbangkan kulit yang rentan. Sandra memilih bahan yang menenangkan, memperkuat skin barrier, dan meminimalkan risiko iritasi. Ia juga percaya konsumen berhak tahu apa yang masuk ke kulit mereka, tanpa bahasa teknis yang rumit atau klaim berlebihan.

 

Hal yang membuat brand ini relevan adalah fokusnya pada remaja dan Gen Z. Kelompok yang kulitnya sedang dalam fase paling sensitif, namun paling banyak terpapar informasi yang belum tentu benar.

 

Terlalu Banyak Informasi, Terlalu Sedikit Konteks

Sandra melihat perbedaan generasi ini dengan yang sebelumnya terletak pada akses. Gen Z tumbuh dengan TikTok, Instagram, dan forum online tempat semua orang bisa jadi beauty guru dalam semalam. Mereka mendapat informasi dengan cepat, tapi tidak selalu dengan konteks yang cukup.

 

"Gen Z lebih cepat memperoleh referensi skincare, review pengguna, dan tren terkini," kata Sandra. Namun kecepatan ini sering membuat mereka bereksperimen terlalu agresif. Sesuatu viral di media sosial, besoknya langsung dicoba tanpa pertimbangan apakah cocok dengan kondisi kulit.

 

Generasi sebelumnya mungkin mengejar hasil cepat seperti kulit cerah atau bebas jerawat dalam waktu singkat. Gen Z lebih kritis terhadap klaim dan peduli pada keamanan jangka panjang. Tapi pengetahuan tidak selalu sejalan dengan pemahaman. Banyak yang tahu nama bahan aktif seperti retinoid atau AHA, tapi belum tentu memahami pH, konsentrasi, atau cara mengombinasikannya dengan aman.

 

"Kulit remaja masih dalam fase perkembangan, stratum corneumnya lebih tipis dan lebih mudah rusak," jelas Sandra. Ketika bahan aktif yang keras digunakan tanpa pemahaman cukup, tapi risikonya kerusakan skin barrier, sensitivitas berkepanjangan, hingga pigmentasi yang sulit hilang.

 

Lebih parah lagi, banyak remaja tidak bisa membedakan antara purging dan iritasi. Mereka membaca bahwa kulit akan “memburuk dulu sebelum membaik” lalu bertahan menggunakan produk yang sebenarnya merusak. Informasi di internet tidak semuanya salah, tapi tidak semuanya juga berlaku untuk semua orang.

 

Kulit Tidak Butuh Drama

Serenitree menerapkan prinsip yang Sandra sebut “Back to Basics”. Bukan karena menolak inovasi, tapi karena ia percaya kulit punya mekanisme alami yang bekerja baik jika tidak terlalu sering diganggu. Skin barrier yang sehat menjaga keseimbangan air, minyak, dan mikrobioma. Terlalu banyak produk justru mengacaukan fungsi alami ini.

 

Sandra menyarankan remaja untuk mulai dengan mengenali jenis kulit mereka, lalu fokus pada tiga langkah dasar, yakni cleanser yang lembut, moisturizer yang sesuai, dan sunscreen. Tidak glamor, tidak perlu banyak lapisan, tapi efektif.

 

"Kulit yang sehat akan tampak glowing secara alami tanpa perlu banyak produk," ujarnya. Ini bukan anti-konsumerisme, tapi realisme. Sama seperti pola makan, perawatan kulit soal keseimbangan. Bukan seberapa banyak digunakan, tapi seberapa tepat memahami apa yang dibutuhkan.

 

Mindful routine yang diperkenalkan Serenitree bukan slogan kosong. Merawat kulit itu memang perlu dengan kesadaran, bukan hanya mengikuti tren. Jika ada masalah serius, sebaiknya konsultasi dengan dokter kulit. Pilih produk yang terdaftar BPOM, dan pahami bahwa hasil instan jarang aman untuk jangka panjang.

 

Natural Bukan Jaminan Aman

Formulasi Serenitree mengandalkan bahan alami dan ringan agar risiko iritasi lebih rendah serta mudah dilacak bila muncul reaksi. Namun Sandra paham bahwa natural tidak selalu berarti aman.

 

"Banyak bahan alami juga bisa memicu alergi," tegasnya. Essential oil atau beberapa ekstrak tanaman bisa bermasalah jika tidak dipahami dosisnya. Terpenting bukan label natural atau synthetic, melainkan pemahaman tentang bagaimana bahan itu bekerja di kulit.

 

Mitos paling berbahaya mungkin soal sensasi terbakar yang dianggap tanda “detoks”. Sandra menegaskan, sensasi itu bisa jadi sinyal iritasi berlebihan. Jika terus terasa tidak nyaman, produk sebaiknya dihentikan.

 

Kecantikan yang Bertanggung Jawab

Serenitree menempatkan keberlanjutan sebagai nilai utama dengan memastikan seluruh prosesnya berjalan bertanggung jawab. Mayoritas bahan nabatinya berasal dari Indonesia melalui praktik panen bijak, sementara kemasannya dibuat ringan, minimalis, dan mudah didaur ulang. Bersama Kertabumi Recycling Center, brand ini mengelola limbah kemasan secara kreatif sekaligus mengedukasi konsumen tentang cara membuang kemasan dengan benar serta membangun kebiasaan konsumsi yang lebih sadar.

 

Transparansi terhadap siklus hidup produk, mulai dari jejak karbon hingga akhir umur kemasan, juga menjadi bagian penting dari komitmen Serenitree.

 

Kontribusi brand bagi ekosistem kecantikan Indonesia terlihat dari banyak sisi, dari literasi kecantikan lewat konten edukatif, blog, workshop, komunitas SereniFriends, hingga kolaborasi dengan organisasi lingkungan. Semua diarahkan pada upaya membangun industri yang lebih transparan dan bertanggung jawab.

 

“Merawat kulit adalah bentuk menghargai warisan tubuh dan cerita hidup kita,” ujar Sandra Djajadisastra. Ia percaya bahwa kecantikan tidak lahir dari kesempurnaan instan, melainkan dari konsistensi kecil yang bermakna. Setiap kulit memiliki kebutuhannya sendiri, sehingga mendengarkan kulit jauh lebih penting daripada mengikuti tren.

 

Bagi Sandra, memilih produk yang peduli pada tubuh dan bumi adalah cara menjaga keseimbangan, karena ketika pilihan kita selaras dengan alam, bukan hanya kulit yang terawat tetapi juga hati dan lingkungan ikut bernapas lega. Merawat kulit, baginya, adalah ritual cinta diri yang menumbuhkan kesehatan, kesadaran, dan ketenangan batin. (Angie)