Sesi konseling dengan pembimbing karier pada awal masa kuliahnya sedikit banyak membentuk minat Devi Pradnya Paramita menekuni dunia finansial hingga sekarang. Perempuan yang akrab disapa Devi ini berseloroh ketika mengatakan bahwa dia tidak ingin bekerja terkena paparan terik matahari. Sejak itulah dia mulai mengarah ingin bekerja di back office. Setelah menamatkan studi di bidang financial engineering, dia pun melamar ke perusahaan konsultan ternama dunia, PriceWaterhouseCooper. Kultur bekerja di perusahaan multinasional diakuinya memberikan banyak sisi positif.
“Saya merasa saat itu starting point yang tepat untuk memulai karier adalah di consulting firm. Di sana kita belajar working ethics atau culture yang berbeda dengan tempat lain. Di tempat seperti itu semua hal sangat berorientasi pada klien,” kenang Devi menceritakan pengalamannya bekerja di perusahaan asing. Dia sering kali pulang jam dua pagi demi menyelesaikan permintaan klien. Kadang kala bahkan sampai tidak sempat pulang. Meskipun lelah, dia merasa dengan budaya kerja demikian membuatnya lebih adaptif, kritis, dan berani mengeluarkan ide-ide kepada atasannya, tidak seperti culture pada umumnya perusahaan di Asia yang sangat mementingkan kepatuhan semata.
Bertahan selama empat tahun, Devi muda yang masih idealis memutuskan untuk mengundurkan diri saat terjadi bencana tsunami di Aceh pada 2004. Dia mengungkapkan, “Saat itu masih muda, masih ada sisi idealisme yang ingin terlibat sesuatu yang lebih besar dengan tujuan yang berbeda. Jadi saya ikut membantu pemerintah Amerika Serikat waktu itu, karena banyak bantuan dari luar datang, dalam bentuk trust fund atau grant, untuk pemulihan Aceh.” Setelah tiga tahun, kerinduannya untuk bekerja di corporate environment kembali muncul. Sewaktu mantan atasannya di PriceWaterhouseCooper dulu menawarkan kesempatan untuk bergabung dengan Medco Energi, dia langsung menerimanya.
Lulusan ICMA Business School, Inggris, ini berpindah-pindah beberapa kali setelah itu. Sempat menjadi Head of Finance Department di Bakrie & Brothers selama tiga tahun sebelum diamanahi menjadi chief financial officer Saka Energi Indonesia, sebuah anak perusahaan Perusahaan Gas Negara. Kemampuannya di bidang merger & acquisitions, fundraising, dan restructuring kemudian membawanya mendarat di Indonesia Infrastructure Finance (IIF) sampai saat ini.
Menghadapi pandemi, Devi mengatakan bahwa peran divisinya saat ini adalah menjaga cash flow dan memastikan ketersediaan dana bagi peminjam untuk menjalankan proyek infrastruktur. “Peran CFO lebih ke support, bukan di depan yang mencari pemasukan. Di kondisi yang sangat menantang ini, cash flow kita jaga, prinsip kehati-hatian dijalankan dengan lebih ekstra,” urainya mengenai strategi menghadapi deviasi di perusahaan.
Dia tidak memungkiri bahwa keadaan ini memaksa korporasi menyesuaikan target dan mengembangkan fokus baru dalam penyaluran dana, seperti energi terbarukan. Menurutnya sektor tersebut sangat menjanjikan, karena tren global saat ini mengarah ke industri ramah lingkungan. Devi berpendapat kemampuan mitigasi IIF juga didukung oleh support system yang kuat. Dengan total karyawan kurang dari 100 orang, perusahaan masih on track sesuai prognosis. Tahun ini menjadi penting pula, karena untuk pertama kalinya IIF menjajaki pasar keuangan global demi memperluas akses likuiditas untuk perusahaan pada masa yang akan datang. Nur A | Foto: Fikar Azmy
Baca selengkapnya di Women's Obsession versi cetak dan e-magazine