Dari bisnis sampingannya menjual pakaian batik melalui Instagram, Tessa Wijaya menyadari kesulitan pelaku usaha dalam melakukan pembayaran secara digital. Saat awal produk Xendit diluncurkan, banyak wirausaha belum dapat menemukan layanan pembayaran yang sesuai dengan standar yang mereka inginkan, seperti integrasi yang mudah dan cepat dengan pelayanan yang baik. Setelah berkarier selama tujuh tahun di industri keuangan dan bisa dibilang sudah cukup mapan, Tessa memutuskan terjun ke dunia start-up.
“Pertemuan saya dengan Moses Lo menyadarkan kami bahwa ada banyak kesempatan untuk meningkatkan kemajuan dalam infrastruktur digital. Melihat bagaimana majunya teknologi di negara lain, kami juga ingin membawa infrastruktur tersebut ke Indonesia. Kami percaya bahwa infrastruktur pembayaran digital yang maju dan memadai dapat membantu memberikan kemudahan, sekaligus menciptakan efektivitas bisnis, bagi para pelaku usaha di Indonesia,” ujarnya tentang alasan mendirikan Xendit pada 2015.
Start-up fintech ini menyediakan layanan berupa sistem pembayaran (payment gateway) untuk memudahkan proses transaksi pelaku bisnis, mulai dari UMKM, start-up, e-commerce, hingga perusahaan besar. Didukung beberapa venture capital terbesar di dunia, yang berinvestasi pada Facebook, Slack, Twitch dan Grab, serta sebagai alumni akselerator bergengsi YCombinator (S15), Xendit pun berkembang pesat. Dalam waktu singkat, terjadi peningkatan total volume pembayaran hingga lebih dari 200% dari tahun ke tahun. Nilai pembayaran (TPV) yang diproses per tahunnya kini mencapai kisaran Rp128,4 triliun.
BACA JUGA:
drg Deviana Maria Anastasia: Solusi Kebebasan untuk Tersenyum
Rachel Nathani: Solution Oriented Thinking
Grow Fast, Grow Big
Sebelum tahun 2020, Xendit memiliki beberapa pelanggan perusahaan dalam bidang travel berskala besar, sehingga efek dari beberapa bulan pertama selama pandemi cukup berdampak signifikan pada bisnis. Namun, karena terdapat digitalisasi yang cepat dan signifikan di Indonesia maupun Filipina, permintaan infrastruktur pembayaran digital Xendit meluas ke sektor-sektor baru seperti ritel, game, dan produk digital lainnya, yang berdampak pada pertumbuhan transaksi.
Selama pandemi, Xendit melihat peningkatan jumlah bisnis yang beralih ke platform online dan mengadopsi sarana digital, karena konsumen berubah preferensi untuk berbelanja dan melakukan transaksi secara digital. Untuk mengakomodasi hal tersebut, diluncurkan berbagai fitur untuk membantu para pelaku bisnis memfasilitasi pembayaran online dari para pembeli. Sehingga mereka dapat fokus mengembangkan maupun memperluas bisnis mereka.
Akselerasi ini ditambah keunggulan aplikasi yang sederhana, kecepatan, dan layanan 24 jam membuat Xendit memperoleh pendanaan Seri-C senilai Rp2,1 triliun (US$150 juta). Pendanaan ini sekaligus menjadikan perusahaan sebagai start-up unicorn terbaru di Indonesia dengan nilai valuasi lebih dari US$1 miliar. Namun, bukan berarti jalan yang dilalui selalu mulus. Berbagai tantangan, baik dalam mencari product-market fit, menemukan partner yang cocok, maupun membangun tim yang bisa tumbuh cepat dan scaling seiring dengan pertumbuhan perusahaan dihadapi.
Saat baru berdiri, Xendit merupakan perusahaan kecil yang menjadikan eksekusi sebagai prioritas utama. Tessa mengakui perlunya memperhatikan proses, tentang perencanaan jangka menengah hingga panjang, dan untuk perusahaan teknologi, tentang penskalaan melalui otomatisasi. Hal-hal inilah yang terus membantu untuk berkembang sebagai sebuah perusahaan.
Gaya kepemimpinannya berkembang pula seiring pertumbuhan perusahaan. Pada masa lalu, dia dituntut untuk membantu di lapangan, mulai dari menjalankan shift customer success, sales, dan lainnya. Kini sebagai chief operating officer keterampilannya dalam mengidentifikasi dan mempekerjakan orang yang kompeten membantunya menjalankan perusahaan.
Women in Tech
Tidak dipungkiri perempuan sering kali menghadapi hambatan untuk berkarier di industri teknologi. Namun, Tessa sangat percaya bahwa Indonesia memiliki banyak perempuan yang kuat, hanya belum banyak yang terekspos. Kita membutuhkan lebih banyak platform untuk perempuan, terutama yang bekerja di bidang teknologi, untuk menyuarakan pendapat mereka agar terdengar dan menginspirasi orang lain untuk berbuat lebih baik.
Tessa pun mendorong Xendit menginisiasi komunitas Women in Tech di Tanah Air bagi perempuan-perempuan Indonesia yang berkarier di bidang teknologi. Komunitas ini berperan aktif memberikan informasi dan pengetahuan seputar bisnis maupun teknologi terkini. Termasuk mengadakan berbagai aktivitas yang menghadirkan para pemimpin perempuan, entrepreneurs, profesional, dan juga penggiat teknologi di Indonesia. Salah satu kegiatan yang dilakukan di akhir 2020 adalah Technovation Girls Challenge Indonesia yang berkolaborasi dengan Society of Women Engineers (SWE) Jakarta. Melalui kegiatan ini, siswi-siswi SMA diperkenalkan kepada dunia teknologi dan bisnis dengan membangun aplikasi maupun rencana bisnis sederhana yang nantinya akan diikutsertakan dalam Technovation Girls Challenge global.
“Saya rasa perempuan harus memiliki suara dan ada banyak kontribusi yang bisa mereka lakukan, khususnya di Asia dan industri teknologi. Para pempuan muda membutuhkan lebih banyak tokoh idola panutan untuk mendukung ekosistem ini, agar bisa berkembang,” tambah pencinta selancar yang masuk daftar Forbes Asia Power Businesswomen 2021 ini menutup pembicaraan dengan Women’s Obsession.
Baca artikel lainnya di e-magazine Women's Obsession edisi Desember 2021.