Politisi muda berlatar belakang advokat ini tak gentar bersikap
berbeda dari kebanyakan. Keadilan masyarakat di mata hukum
menjadi landasannya mengabdi kepada rakyat dan konstituennya.
Karier politik Risa Mariska tidak bisa dipisahkan dari dunia advokat yang sudah lebih dulu ditekuninya. Ibu dua anak ini termasuk advokat muda yang diperhitungkan. Dia banyak berpengalaman menangani sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi dari calon yang diusung PDI Perjuangan salah satunya adalah Pilkada Kota Depok di tahun 2010.
Berbekal pengalaman tersebut, pada 2014 lalu, Risa terpilih sebagai anggota DPR menggunakan bendera PDI Perjuangan. Dia memperoleh 27.578 suara di Daerah Pemilihan
Jawa Barat VI (kota Depok dan Bekasi). Perempuan kelahiran 9 Desember 1979 ini
ditempatkan di Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan sesuai dengan latar belakangnya.
Ketegasan dan komitmennya cukup konsisten. Dalam banyak hal, dia setuju dengan
kebijakan pemerintah, tetapi dalam beberapa hal juga tidak sependapat dengan regulator. Terutama menyangkut berbagai program yang diusulkan oleh mitra kerjanya seperti, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, Komnas HAM, dan Komisi Yudisial. Program Polri yang pernah mendapatkan kritik dari Risa adalah wacana pembentukan Densus Tipikor.
Meskipun sepakat, namun dia tidak setuju jika dibentuknya Densus Tipikor bertujuan menyaingi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya Densus Tipikor ini perlu diperkuat dan diperjelas lagi, sehingga tidak menimbulkan kesan pelemahan KPK di
masyarakat.
”Saya ingin Densus Tipikor ini tidak untuk saling berkompetisi dengan KPK. Domain-domainnya harus kita pisahkan. Contohnya, domain KPK dan Densus Tipikor berbeda,” lanjutnya.
Risa juga aktif terlibat dalam Panja RUU Antiterorisme F-PDIP. Salah satu poin yang ramai
dibahas dalam RUU tersebut adalah soal keterlibatan TNI dalam pemberantasan Terorisme. Menurut Risa, TNI perlu dimasukkan untuk memperkuat peran polisi dalam memberantas kejahatan terorisme di Indonesia.
Keterlibatan TNI harus sesuai dengan eskalasi atau tingkat daruratnya tindakan Terorisme tersebut. Selain itu, peran TNI juga harus sesuai dengan ketentuan Undang Undang Nomor 34 tahun 2004. Namun, ditegaskannya bahwa keterlibatan TNI tidak sampai masuk dalam penegakan hukumnya.
Ada batasan yang diatur dalam RUU Terorisme. Kewenangan penegakan hukum untuk pelaku terorisme tetap menjadi kewenangan kepolisian dengan menggunakan criminal justice system. Penguatan pencegahan dalam RUU tersebut juga diusulkan oleh Risa. Dia mengatakan, orang yang melakukan khotbah dan menebarkan kebencian bisa dikenakan dalam kategori ‘Hate Speech’, karena itu dia meminta masyarakat lebih hati-hati.
Dalam beberapa kali rapat kerja dengan Jaksa Agung HM Prasetyo, dia mengkritik manajemen Kejaksaan Agung dalam menangani sejumlah kasus. Sebab sejak dipimpin HM Prasetyo, Kejaksaan Agung sering kali kalah dalam menghadapi gugatan yang masuk ke meja praperadilan pengadilan.
Meski terhitung ‘hijau’ di dunia politik, Risa banyak diberi kesempatan untuk memimpin oleh para senior. “Tahun lalu, saya dipercaya menjadi wakil pemimpin revisi undang-undang tentang paten. Alhamdulillah, di periode pertama ini saya sudah belajar banyak hal,” ujarnya.
Antara lain mengenai politik regulasi, politik anggaran dan pengawasan. Selain ditempatkan di Komisi III, dia juga pernah menduduki posisi-posisi yang cukup strategis, seperti Mahkamah Kehormatan Dewan. Di dalam pembahasan Undang Undang di Komisi III, Risa juga masuk dalam Tim Panja RUU KUHP dan RUU Jabatan Hakim. Subhan Husaen Albari | Fikar Azmy
untuk membaca artikel selengkapnya, dapatkan majalah Women’s Obsession edisi Maret 2018